DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru. Kebijakan tersebut terus diimplementasikan secara nyata dalam perayaan Tumpek di Bali.
Kali ini, Gubernur Koster mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 06 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Wariga Dengan Upacara Wana Kerthi. Kebijakan ini pun diapresiasi oleh Akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, I Gusti Ketut Widana dan Pengamat Lingkungan, Dr. I Made Sudarma, M.S.
I Gusti Ketut Widana, mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Koster ini sangat luar biasa, bahkan di luar kebiasaan. Sebab, baru kali ini pemimpin Bali tampak begitu sutindih-satya nindihin gumi/jagat Bali. Setidaknya melalui berbagai regulasi yang dimaksudkan mengatur atau menata perikehidupan masyarakat Bali yang notabene pemeluk Hindu untuk terus berkomitmen dan konsisten menjaga, memelihara/merawat, mengelola dan mendayagunakan sumber daya alam, menuju Bali santih lan jagadhita.
Menurutnya, ritual Tumpek Bubuh, nama lainya Tumpek Pengatag/Pengarah, Tumpek Wariga, bahkan acapkali disebut otonan punyan (tumbuh-tumbuhan), adalah salah satu dari sekian banyak jenis ritual Hindu. Secara teologis, Tumpek Bubuh adalah upacara persembahan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, yang secara ekologis tidak lain dari unsur tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang menjadi cikal bakal terbentuknya kawasan hutan (wana) dengan segala fungsinya.
Dijelaskan, bahwa merujuk kitab Pancawati sebagaimana dikutip Wiana (2007) dijabarkan perihal tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri). Yakni, pertama Maha Wana adalah hutan belantara sebagai penyedia/penyangga kehidupan manusia dengan berbagai sumber daya hayatinya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.
Kedua, Sri Wana, yaitu hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat karena dari hutanlah sebagian hasil bumi dihasilkan. Jika merusak hutan sama halnya dengan memutus mata rantai salah satu penunjang kehidupan masyarakat. Dan ketiga, Tapa Wana, merupakan fungsi hutan dalam konteks kepentingan meningkatkan kualitas rohani/spiritual, sebagaimana para Resi/Yogi di masa lalu membangun asram atau menjadi pertapa.
Relevansinya dengan ritual Tumpek Bubuh dan Wana Kerthi, umat disugesti, tidak semestinya hanya bermain ditataran simbolik ekspresif, tetapi meningkatkannya melalui perbuatan real, dalam bentuk kegiatan aksi environmental hingga pelestarian lingkungan alam atau hutan.
Kutipan Bhagawadgita, III. 14 dengan jelas menyatakan, ‘Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan (air), adanya hujan karena yadnya, dan adanya yadnya karena karma’. Jadi kata kunci adanya makanan, dan air (berasal dari hutan), termasuk yadnya tiada lain dari adanya “karma”, perbuatan atau tindakan langsung dan nyata. Sebab, ritual-yadnya, apapun jenis dan tingkatannya tetap hanya sebagai media simbol, yang mengandung makna dan tentunya wajib dilaksanakan amanatnya.
Haturan bubuh (bubur) misalnya yang dipersembahkan saat pelaksanaan ritual Tumpek Bubuh dan ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (penguasa tumbuh-tumbuhan), tidak lebih hanya sebagai sarana permohonan lewat doa mantra. Pada akhirnya, yang membuktikan bahwa tumbuhan/pepohonan tetap bertumbuh-berkembang menjadi kesatuan dalam ekosistem hutan yang serasi dan lestari, tiada lain “karma” manusia itu sendiri.
Apakah sudah berbuat untuk pelestarian alam lingkungan (tumbuhan/hutan) atau baru sekedar berkiat dalam bentuk suratan, termasuk surat edaran sekalipun. “Sudah saatnya umat Hindu mentransformasi dimensi ritual apapun itu, termasuk Tumpek Bubuh dan Wana Kerthi ke dalam tataran behavioral mengarah environmental. Hanya dengan begitu ritual simbolik akan lebih nyata maknanya dalam laksana dan tentunya berguna bagi keberlangsungan kehidupan segenap makhluk,” tandas Widana.
Sementara itu, Made Sudarma, mengatakan perayaan Tumpek Wariga sebagai ucapan rasa syukur dan terimakasih umat hindu kepada Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa atas segala kesejahteraan yang diberikan yang dipresentasikan dalam bentuk sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair). Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan hidup terutama dalam melestarikan pohon agar pohon berbuat lebat, berbunga, berkualitas bagus.
Dalam konteks kekinian, keberadan pohon menjadi sangat penting dan relevan untuk dilestarikan sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta upaya mengendalikan terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, erosi, tanah longsor dan lainnya. Lebih lanjut, dikatakan bahwa Tumpek wariga merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan dengan selalu menanam pohon di pekarangan, di kebun, dan di lahan-lahan kosong lainnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi Tumpek Wariga inilah yang terus digali dan dihidupkan oleh Gubernur Bali agar generasi muda Hindu menjadi paham akan esensi Tumpek Wariga sehingga dapat turut serta terlibat dalam gerakan pelestarian pohon, baik melalui penanaman pohon, perlindungan pohon, konservasi, reboisasi dan gerakan penghijauan dengan berbagai jenis pohon yang mempunyai fungsi konservasi, ekonomi dan sosial budaya dan religius.
Dikaitkan dengan wana kertih yang menjadi salah satu visi gubernur, perayaan Tumpek Wariga ini sangat relevan karena visi ini sejalan dengan upaya Gubernur dalam pencapaian luas tutupan hutan mencapai 30 % dan menjadikan Bali menuju pembangunan rendah karbon. Namun perayaan Tumpek Wariga dalam bentuk gerakan penanaman pohon ini tidak hanya merupakan retorika atau seremonial semata. Evaluasi atas pelaksanaan kegiatan ini menjadi wajib untuk dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi sebagai dasar penilaian keberhasilan program.
Keberhasilan gerakan program penananam pohon adalah tanggung jawab multi pihak sehingga peran serta mereka dalam keberlanjutan gerakan ini juga harus jelas. Sebagai misal dalam pemilihan jenis pohon yang akan ditanam pada suatu tempat haruslah mempertimbangkan kondisi tanah, topografi dan agro klimat, serta manfaat yang didapatkan dari pohon tersebut apakah manfaat konservasi untuk perlindungan tanah dan air (misalnya perlindungan ancaman erosi atau longsor) ataukah bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan sarana upacara agama (tanaman upakara).
Subyek dan obyek dari pemilihan jenis pohon dalam gerakan penanaman pohon menjadi sangat penting untuk keberhasilan dan keberlanjutan tumbuhnya pohon. Hal yang sering diabaikan adalah ketepatan dalam menentukan jenis pohon yang ditanam dan pihak yang akan merawatnya sampai tumbuh besar.
Keberhasilan gerakan menanam pohon janganlah dilihat dari jumlah pohon yang ditanam tetapi lihatlah dari rasio banyaknya pohon yang tumbuh sehat dan subur dibanding dengan jumlah pohon yag ditanam. Semakin besar rasio tersebut maka gerakan penanaman pohon menjadi semakin berhasil dan berarti.
Karenanya kegiatan pemantaaun dan evaluasi serta pelaporan kegiatan penanaman pohon yang dilakukan oleh berbagai pihak yang melakukan gerakan ini menjadi wajib dilakukan untuk menghindari kesan seremonial atau retorika semata. Peran serta masyarakat sekitar atas kesedian untuk memelihara dan menjaga pohon sampai tumbuh besar adalah ciri keberhasilan program. Hal ini hanya bisa terwujud apabila jenis pohon yang ditanam dirasakan memberikan manfaat pada kehidupan mereka. Gerakan penanaman pohon haruslah diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga pohon dan menghindari perusakan atau penebangan pohon (hutan). “Tumpek Wariga sebagai salah satu kearifan lokal yang diwarisi oleh para leluhur umat Hindu sejak berabad-abad lalu menjadi semakin nyata urgensinya dalam kondisi global kekinian khususnya terkait dengan perubahan iklim yang sudah semakin dirasakan dampaknya saat ini,” tandas Ketua Forum DAS Bali ini.
Dalam SE ini, instruksi ditujukan kepada Pimpinan Lembaga Vertikal di Bali, Walikota/Bupati se-Bali, Bandesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Bandesa Madya Majelis Desa Adat Kota/Kabupaten se-Bali, Bandesa Alitan Majelis Desa Adat Kecamatan se-Bali, Pimpinan Lembaga Pendidikan se-Bali, Perbekel dan Lurah se-Bali, Bandesa Adat atau Sebutan Lain se-Bali, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan dan Swasta se-Bali, dan Seluruh Masyarakat Bali.
Gubernur Koster mendorong semua pihak bersinergi secara gotong royong melaksanakan nilai-nilai adiluhung Wana Kerthi sesuai Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali dengan tertib, disiplin, dan penuh rasa tanggung jawab. Perayaan Rahina Tumpek Wariga dilaksanakan secara serentak di seluruh Bali pada hari Sabtu (Saniscara Kliwon, Wariga) Tanggal 14 Mei 2022 diawali kegiatan niskala pada pukul 09.00-10.00 WITA, dilanjutkan kegiatan sakala pada pukul 10.00 WITA sampai selesai. (Winatha/balipost)