Ni Kadek Adelia Prabandari Karna. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Kadek Adelia Prabandari Karna

Demo mahasiswa sering kali menjadi simbol penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Aksi mahasiswa juga sering kali dimaknai dan dianggap mewakili kepentingan publik.

Padahal, sikap bijak dan jernih menyuarakan aspirasi hendaknya tetap berpegang pada konstitusi. Aksi
mahasiswa terakhir tersuarakan secara masif, Senin (11/4). Ratusan mahasiswa mendemo harga minyak goreng yang mahal serta pembahasan mengenai tambahan periode jabatan Presiden Joko Widodo.

Para pendemo telah melempar batu ke dalam
lingkungan gedung DPR di ibu kota Jakarta, sehingga polisi melepaskan gas air mata serta meriam air untuk membubarkan kerumunan tersebut. Demo anarkis ini tentu direspons negatif oleh masyarakat. Pro kontra bergulir.

Anarkisme dalam demo mahasiswa kali ini jelas tidak mencerminkan perilaku mahasiswa sebagai agent of change bangsa Indonesia yang seharusnya menyampaikan keinginan masyarakat tanpa melakukan tindakan menyimpang seperti vandalisme. Kapolda Jakarta Fadil Imran menyampaikan dalam konferensi pers bahwasanya seorang dosen universitas yang terlibat dalam aksi mengalami cedera parah sesudah kalangan bukan mahasiswa menginjak serta memukulnya.

Baca juga:  Menelisik Metaverse, Peluang bagi Industri Kreatif

Enam aparat kepolisian yang berusaha menolong dosen pun terluka, tambahnya. Beliau tak menginformasikan kenapa kelompok tersebut menyerang dosen. Baik mahasiswa atau kalangan bukan mahasiswa sebagai rakyat Indonesia sebaiknya fokus untuk mendemo apa yang menjadi permasalahan di masyarakat bukan malah menyerang seseorang yang turut serta dalam demonstrasi, karena tindakan tersebut tak layak dilakukan oleh siapa pun.

Demo telah dijamin sebagai hak kebebasan bersuara selaku jiwa demokrasi. Namun, cara memberikan pendapat serta apa saja masalah yang dapat diutarakan juga terdapat lingkup aturannya. Demokrasi itu bukan kebebasan perseorangan saja namun juga mengenai menghargai individu lain.

Mahasiswa diharapkan memberikan aspirasi menggunakan ilmu, jadi mahasiswa ketika melaksanakan demo perlu hati-hati terhadap provokator sebab amat rentan terhasut. Jokowi telah dikritik sebab pendiriannya yang ambigu mengenai isu ini, mengatakannya suatu gagasan saja, namun tidak secara tegas menyangkalnya ataupun meninggalkan kekuasaan lebih lama.

Baca juga:  Menguatkan Kebinekaan demi Kerukunan Bangsa

Ide untuk memperbolehkan lebih dari maksimum dua, lima tahun masa jabatan sebagai presiden telah menimbulkan kecemasan mengenai bahaya terhadap reformasi demokrasi yang sangat sulit diperoleh. Presiden Jokowi, di hari Minggu berupaya memadamkan dugaan mengenai rencana yang diciptakan oleh koleganya untuk membuatnya tetap memerintah lebih lama.

Ide untuk menambah periode jabatannya baik dengan memperbarui undang-undang ataupun mengundurkan
pemilihan 2024, telah memperoleh tuntutan belakangan ini di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah sejumlah aktor politik berkuasa secara jelas mendukungnya. Mahasiswa sudah biasa ada pada garis terdepan usaha untuk menjaga perolehan
demokrasi Indonesia, sesudah turun ke jalan di tahun 1998 semasa demonstrasi besar yang mendukung menggulirkan mantan orang berkuasa Presiden Soeharto.

Baca juga:  Peran LPD Wujudkan Ketangguhan Krama Adat

Menurut konstitusi, pengunduran pemilu harus
terdapat alasan mendesak seperti bencana alam serta kericuhan. Sedangkan pemerhati politik menyampaikan sebab pengunduran Pemilu 2024 tidak penting serta dituding berisi dorongan elit mengamankan proyek prasarana.

Perubahan malah dapat menghancurkan keutuhan struktur undang-undang kita, sangat berbahaya. Terutama pada saat pendukung serta penentang tak seimbang maka perubahan dapat berakhir pada
terulangnya oligarki, bahkan totaliterisme.

Tujuan mahasiswa melakukan demonstrasi yakni supaya wakil rakyat tak mengingkari undang-undang dasar dengan mengadakan perubahan serta bersikap tegas menentang pengunduran pemilu 2024 ataupun masa jabatan 3 periode, serta menjaga undang-undang berlangsung dengan baik sesuai dengan yang telah ada.

Penulis, Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

BAGIKAN