Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Pariwisata memungkinkan perjumpaan antar umat manusia, menemukan jati diri kemanusiaan dalam diri dan realitas kemanusiaan, menembus sekat yang membatasi negara, perbedaan negara, status sosial dan strata ekonomi. Dalam konteks inilah KTT G20 yang tahun ini diadakan di Bali memiliki relevansi untuk menghadirkan ruang dan waktu bagi masing-masing negara untuk belajar mendengarkan dengan ’telinga hati’ demi tercapainya kemanusiaan yang adil dan beradab, perdamaian dunia dan keadilan sosial. Perjumpaan antar umat manusia, terutama mendekatkan warga negara maju dengan warga negara miskin dan berkembang melalui perjalanan wisata, merupakan keniscayaan yang patut diupayakan.

Jalur pembahasan non keuangan (sherpa track) menjadi salah satu mekanisme bagi negara-negara yang tergabung dalam G20 untuk belajar mendengarkan dengan ’telinga hati’, di dalamnya memungkinkan kolaborasi di antara komunitas negara-negara maju di Asia, Afrika, Amerika, Eropa untuk bersatu padu mendorong perjalanan wisata warga negaranya ke destinasi negara-negara miskin dan berkembang. Dalam konteks ini, terobosan program yang mempromosikan dan mempermudah charity tourism di kalangan G20 merupakan bentuk konkret dari kepemimpinan transformatif yang memberi nilai tambah pada perbaikan kualitas hidup.

Tindakan kepemimpinan transformatif ini merupakan wujud sosok ’unreasonable people’ menurut John Elkington dan Pamela Hartigan (2008). Mengapa demikian? G20 yang selama ini dikenal sebagai ajang eksklusif kelompok negara-negara maju, yang saling tarik menarik kepentingan untuk pertama-tama memenangkan kepentingan masing-masing negaranya, oleh ‘orang-orang transformatif’ (unreasonable people) diubah menjadi sarana untuk keluar dari zona nyaman dan eksklusivitas, memecahkan masalah-masalah sosial dan membantu banyak orang di negara-negara miskin dan berkembang melalui perjalanan wisata sambil berbagi.

Baca juga:  Kompetensi Pedagogik, Acuan Guru yang Baik?

Charity tourism merupakan produk pariwisata yang lahir dari upaya mendengarkan dengan ‘telinga hati’, perjalanan wisata yang tidak sekadar untuk bersenang-senang (leisure and pleasure) seperti wisata pada umumnya, melainkan suatu bentuk perjalanan wisata yang pertama-tama didorong oleh intrinsic motivation untuk berbagi dengan sesama yang mengalami penderitaan perang, bencana alam dan kemanusiaan. Motivasi intrinsik tersebut identik dengan konstruk Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1985) yang terdiri dari attitude towards behavior (terkait pertimbangan positif atau negatif, menguntungkan atau merugikan untuk berwisata), subjective norms (terkait saran dan rekomendasi kepada wisatawan untuk berwisata), perceived behavior control (terkait pengalaman masa lalu serta ketersediaan waktu dan sumber daya wisatawan untuk berwisata).

Ketiga konstruk ini memberi pengaruh kepada intention (niat), dan selanjutnya intention serta perceived behavior control berpengaruh kepada behavior, dalam hal ini keputusan untuk melakukan perjalanan charity tourism ke destinasi negara-negara miskin. Ada kecenderungan yang besar pada masa kini dan era mendatang tumbuhnya sensitivitas wisatawan asal Eropa dari negara yang tergabung G20 terhadap isu-isu budaya, lingkungan hidup, ekonomi kerakyatan dan kemiskinan di suatu daerah wisata. Dalam sebuah pengalaman membawa rombongan tur ke agrowisata di Jawa Timur sebelum pandemi Covid-19, salah satu tur operator yang memiliki spesialisasi pada inbound tour menceritakan, wisatawan Eropa dapat diedukasi untuk mengunjungi destinasi wisata agro yang relatif baru.

Baca juga:  Struktur Ekonomi Bali Menyeimbangkan Pertanian dan Pariwisata

Dengan kata lain, destinasi tersebut bukan mainstream agrowisata yang telah populer. Tour guide tersebut menjelaskan kepada rombongan yang dibawanya bahwa agrowisata kebun apel yang akan dikunjungi adalah kebun apel milik petani dan dikelola langsung oleh pemiliknya. Lebih lanjut dia menceritakan bahwa uang yang dibelanjakan wisatawan untuk membeli apel dan suvenir khas daerah itu langsung masuk ke kantong petani.

Mendengar penjelasan itu, rombongan wisatawan asal Eropa dari negara G20 tersebut langsung antusias. Lebih-lebih, ketika wisatawan diajak bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat sekitar agrowisata yang tergolong miskin, meskipun telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan, nurani kemanusiaan mereka semakin tersentuh. Pengalaman berwisata (experiential tourism) semacam inilah yang mereka cari selama ini. Kesadaran berwisata sekaligus berbagi (charity) jelas tampak pada pasar wisatawan Eropa, terutama pada niche market kalangan adventurous, millennials dan well educated.

Hikmah penting dari pengalaman itu adalah, dalam dimensi pariwisata, hakekat penting pariwisata sebagai sarana untuk menumbuhkan kesalingpengertian antarbangsa selama ini mungkin kurang mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan pariwisata yang semata-mata mengumbar kesenangan dan membelanjakan uang tanpa sensitivitas sosial yang tinggi serta tanpa mengindahkan kepentingan kemanusiaan. Tetapi, ketika diujicobakan untuk mengarahkan pariwisata ke arah itu, dan karenanya dibutuhkan keberanian serta kalkulasi bisnis yang cermat, niscaya nurani kemanusiaan pasar wisatawan dunia mudah tersentuh, apresiatif, berkesan mendalam dan mendorong untuk mengulang kembali perjalanan dengan tujuan yang sama di destinasi yang sama atau yang lain.

Baca juga:  Era Baru Pengembangan Profesi Guru

Pola dan pengalaman ini dapat diperluas melalui perjalanan ke destinasi negara-negara miskin dan berkembang melalui program serius yang diprioritaskan pada kinerja G20 pasca pandemi Covid-19. Perjalanan wisata memberi manfaat konkret pada perbaikan taraf hidup masyarakat melalui integrasi tourism-trade-investment. Perjalanan wisata wisatawan asal negara-negara G20 menjadi ’pintu masuk’ bagi pertumbuhan perdagangan dan investasi di negara-negara miskin. Seorang wisatawan ketika membeli suvenir atau barang khas dalam perjalanan wisatanya, berarti dia turut berkontribusi bagi perdagangan. Ketika konsumsi pribadi ditingkatkan skalanya sebagai bisnis, misalnya wisatawan tersebut berminat untuk membangun pabrik atau toko di destinasi negara miskin dan berkembang yang pernah dikunjunginya, akan menumbuhkan investasi.

Kunci dari lompatan pertumbuhan perjalanan wisata negara-negara G20 ke negara-negara miskin terletak pada akses transportasi. Penerbangan internasional dari negara-negara G20 ke destinasi negara-negara miskin, direct atau indirect, menjadi target penting yang harus diprioritaskan para pemimpin transformatif yang tergabung di G20. Demikian juga moda transportasi menggunakan cruise line, juga dapat menjadi pilihan. Membuka border negara-negara maju (G20) untuk melalukan perjalanan charity tourism ke destinasi negara-negara miskin dan berkembang merupakan kemajuan yang sangat bermakna dari komunitas elit ini. Semua itu hanya akan terwujud bila para pemimpin G20 mau dan mampu mendengarkan dengan ‘telinga hati’.

Penulis Dosen Program Studi Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN