DENPASAR, BALIPOST.com – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar yang menyidangkan perkara terdakwa Ir. Dewa Ketut Puspaka (DKP), Selasa (26/5) silih berganti membacakan vonis atas perkara dugaan korupsi, pemerasan dan TPPU. Yakni dalam pengurusan izin Terminal LNG Celukan Bawang, penyewaan lahan Desa Adat Air Sanih dan pembangunan Bandara Internasional Bali Utara.
Majelis hakim tipikor yang diketuai Heriyanti dengan hakim anggota Konny Hartanto dan hakim ad hoc Nelson, pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan DKP yang saat itu menjabat Sekda Buleleng (kini mantan) terbukti bersalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Atas pembuktian itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana pada Dewa Puspaka dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan JPU, yakni 10 tahun penjara.
Sebelum pada tahap pembacaan kesimpulan, majelis hakim membacakan sejumlah pertimbangan dalam sidang yang berlangsung hingga malam. Yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi, dan terdakwa saat melakukan adalah seorang ASN yang menjabat Sekda Buleleng. Yang meringankan, terdakwa bersikap sopan.
Sementara dalam urain dalam amar putusannya, majelis hakim menguraikan sejumlah fakta persidangan. Yakni, dalam pengurusan izin Terminal LNG Celukan Bawang, DKP menerima sekitar 1,8 miliar, untuk Bandara Bali Utara sekitar Rp 2,5 miliar, dan penyewaan lahan Desa Adat Air Sanih Rp 12,9 miliar.
Dalam perkara ini, kata hakim, ada sekitar 38 orang yang dihadirkan sebagai saksi dan juga ahli serta barang bukti sebanyak 197. Sebelum pada amar putusannya, hakim menyampaikan sejumlah kesaksian para saksi dan ahli.
Mulai dari ditunjuknya Made Sukawan Adika sebagai konsultan dan diajak ke Jakarta oleh DKP. Terdakwa juga disebut memanfaatkan jabatannya sebagai Sekda Buleleng, padahal jabatan Sekda bukanlah jabatan yang dapat digunakan secara pribadi untuk mengurus izin. “Bahwa benar Dewa Puspaka meminta transferan sejumlah dana ke investor lalu dikirim ke Sukawan Adika dan juga ditranafer ke Mahayastra Rp 300 juta, Chandra Berata dan Rp 876 juta diserahkan langsung ke Dewa Ketut Puspaka,” ucap hakim saat mengurai soal Terminal LNG.
Hakim juga menyampaikan soal penerimaan Rp 12,9 miliar yang dibungkus sewa lahan, dengan manfaatkan salah satu tokoh Desa Adat Air Sanih. Padahal desa adat tidak pernah menyewakan lahan Desa Adat Air Sanih tersebut.
Bahkan pernah ada sosialisasi, namun ditolak oleh warga desa adat. Dana sejumlah itu diterima oleh Sukawan Adika, Hasyim, Dewa Gede Radhea dan Candra Beratha. Dalam pertimbangan lain juga terungkap bahwa saksi Sukawan Adika juga diperalat oleh DKP, karena saksi sungkan yang saat itu DKP sebagai Sekda Buleleng. Efeknya, investor merasa dirugikan.
Pun soal Bandara Bali Utara, PT BIBU Panji Sakti yang membawa nama Haji Kojum yang bertemu di rumah terdakwa DKP. Kata hakim, DKP meminta uang dengan cara melakukan pertemuan-pertemuan.
Untuk pengurusan izin dan pembayaran tanah diserahkan ke Wijanarka lalu diserahkan ke DKP. Dalam amar putusannya juga disebut Haji Koju. sering dibohongi oleh Wijanarko, yang mengatakan (permintaan uang) selalu atas perintah DKP.
Haji Kojum merasa takut dan terpaksa memenuhi permintaan tersebut. Sehingga hakim menilai bahwa perbuatan terdakwa itu telah melawan hukum, menggunakan kekuasaanya, jabatannya sebagai Sekda Buleleng dengan cara melawan hukum untuk kepentingan pribadinya.
Atas putusan itu, JPU dan pihak terdakwa diberikan waktu sepekan untuk pikir-pikir dalam menyikapi putusan tersebut. (Miasa/balipost)