Ilustrasi uang rupiah di penyimpanan. (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Direktur Bank BPD Bali, I Nyoman Sudharma, mengaku siap jika restrukturisasi atau relaksasi kredit diperpanjang. Kesiapannya bukan tanpa alasan.

Dari sisi rasio keuangan BPD telah mengantisipasi restrukturisasi kredit yang diberikan dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). “Jika kredit gagal bayar, kita sudah membentuk cadangan secara bertahap untuk memperkuat cadangan bank sebagai antisipasi, jika program relaksasi tidak diperpanjang,” ujarnya, Rabu (27/4).

Ia juga berharap perpanjangan restrukturisasi bisa dilakukan sesuai harapan Pemda dan pengusaha di Bali. Selain membentuk CKPN, ia juga sudah membuat kluster debitur, dari paling gagal, yang sudah membaik dan sudah pulih. “Kita sudah buat sesuai arahan OJK,” ujarnya.

Baca juga:  Pasca Gempa, Pembatalan Penginapan di Nusa Penida Capai 25 Persen

CKPN ini biasa dilakukan bahkan sebelum adanya kebijakan restrukturisasi. Jika dulu disebut penyisihan pencadangan aktiva, sekarang disebut CKPN yang sudah sesuai dengan standar akuntansi perbankan.

Menurutnya, pembentukan CKPN ini tidak mepengaruhi rasio keuangan yang lain. Saat ini posisi rasio keuangan BPD Bali masih dalam kondisi ample, rasio keuangan dikatakan masih cukup bagus, cadangan CKPN masih terus dibentuk, BPD masih di bawah 70%, artinya masih terkendali dan termasuk biaya risiko.

Namun jika restrukturisasi yang diberikan besar mungkin saja mempengaruhi rasio keuangan yang lain seperti ROA, ROE. “Kalaupun nanti diperpanjang sampai 2025, Bank BPD Bali sudah antisipasi, membuat klastering debitur. Dari klastering debitur ini kita membuat cadangan yang lebih besar,” ujarnya.

Baca juga:  Bali Perlu Relaksasi Kredit Hingga 2025

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, Agus Pande Widura mengatakan Bali belum tentu pulih 2023, sementara program restrukturisasi berakhir 31 Maret 2023. Jika kondisinya seperti ini dan restrukrurisasi tidak diperpanjang, Bali terancam kolaps.

Pernyataan ini ada benarnya karena pengusaha Bali dominan pengusaha skala menengah yang menyerap banyak tenaga kerja. Ketika ada PMK 71/2020 dan PMK 32/2021 yang bertujuan untuk membantu para pengusaha, nyatanya PMK tersebut tak bisa menolong.

PMK tersebut mensyaratkan yang bisa mendapat mendapatkan tambahan kredit setelah sebelumnya mendapat program restrukturisasi adalah perusahaan yang memiliki pendapatan di atas Rp50 miliar.

Baca juga:  Segera Terapkan Sistem Core Tax, Proses Bisnis Perpajakan akan Makin Terintegrasi

Sementara jika mengacu pada PMK 71/2020, agar pengusaha bisa mengajukan kredit dengan penjaminan dari Jamkrindo, namun persyaratannya di atas Rp10 miliar. “Sementara pengusaha di Bali range pendapatannya antara di atas Rp10 miliar dan di bawah Rp50 miliar,” jelasnya.

Hal inilah yang menjadi kekhawatiran pengusaha Bali mengalami kebangkrutan. Menurut Pande, jika mengalami kebangkrutan, peralihan aset tidak bisa dihindari.

Jika Bali tidak diselamatkan dari kebangkrutan, menurutnya akan menyeret permasalahan lain sehingga efek dominonya cukup besar. Seperti diketahui, Bali menyumbang devisa kepada negara cukup besar karena jasa pariwisata. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN