GIANYAR, BALIPOST.com – Kabupaten Gianyar terkenal dengan seni dan budaya termasuk karya seni patung kayu. Salah satu desa terkenal dengan karya seni patung kayu yakni Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar.
Banyak wisatawan mancanegara yang sengaja datang ke desa yang terkenal banyak artshop ini. Selain itu, karya seniman Desa Mas diekspor keluar negeri seperti Benua Eropa dan Amerika. Tentu hasil
karya seni ini berdampak kepada ekonomi keluarga
dan desa serta berdampak kepada kesejahteraan
masyarakatnya.
Bendesa Desa Adat Mas, Ir. I Wayan Gede Arsania, M.M mengatakan, berkembangnya seni kerajinan patung kayu tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha yang datang ke Desa Mas dan
menanam pohon tangi di areal Pura Taman Pule. Di situ Dang Hyang Nirartha juga bersabda bahwa kelak masyarakat Desa Mas akan sejahtera dari hasil kayu (kerajinan dari kayu).
Kemudian berlanjut para seniman Desa Mas membuat pratima-pratima atau Sesuhunan Ida Bhatara kemudian patung-patung, topeng atau tapel dipersembahkan kepada para raja di Bali. Seniman dan perajin patung kayu terus berkembang hingga sekarang ini.
Namun karena perkembangan zaman dan berkembangnya sektor pariwisata, kerajinan patung kayu mulai dikomersialkan atau dijualbelikan. Sekarang ini di Desa Mas sudah terdapat ribuan
perajin atau seniman patung kayu hingga terdapat ratusan artshop untuk menjajakan hasil karya seni. “Hasil karya seni ini selain dijual di artshop dan dicari
wisatawan, juga diekspor ke Benua Eropa, Benua Amerikaa,” kata Arsania yang juga eksportir ini.
Berbagi karya seni dihasilkan. Untuk patung dibagi menjadi aliran realis dan surealis. Aliran realis yakni
patung yang mirip atau hampir menyerupai postur, gaya tubuh manusia. Sementara surealis yakni karya seni patung kayu berbentuk manusia namun sudah agak berbeda postur bentuk tubuhnya. Misalnya, kaki lebih panjang dari badan atau badan lebih panjang dari kaki.
Gede Arsania yang juga mantan Ketua Kadin Kabupaten Gianyar dua periode itu mengatakan hasil karya seni para pengerajin Desa Mas mengalami masa keemasan atau puncaknya di era tahun 1970-an, tahun 1980-an hingga tahun 1990. Namun
karena banyak persaingan dan berkembangnya teknologi dan diperparah dengan mewabahnya Covid-19, yang berdampak kepada tidak boleh warganya keluar negeri dan berdampak kepada sektor ekonomi. “Dalam pandemi Covid-19, wisatawan tidak ada datang ke Bali, kita rasakan dampaknya. Wisatawan tidak ada, belanja tidak ada, ekspor kerajinan patung kayu juga macet,” kata pemilik museum ini.
Bahkan perajin di Desa Mas dulunya ribuan, akibat
Covid ini masih bertahan 500 orang perajin. Ke depan, kata Arsania, perajin harus pintar membaca situasi, membuat terobosan baru dan hasil karya seni
yang diminati wisatawan.
Diakui, hasil karya seniman Bali yang klasik terkenal sampai kemancanegara. Namun, diharapkan para
seniman lebih bisa berinovasi dan terus menciptakan karya seni. (kmb/balipost)