Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Kepintaran bukan jaminan seseorang menjadi berkarakter. Seseorang yang menyandang gelar guru ataupun dosen, apalagi seorang guru agama dan guru besar (profesor) adalah mereka yang terdidik, memiliki kecerdasan, dan kebijaksnaan, yang mampu menjadikan dirinnya sebagai model karakter bagi anak didiknya. Namun, apa yang terjadi baru-baru ini berbanding terbalik dengan apa yang semestinya dilakukan oleh kaum terhormat ini.
Seorang oknum guru perempuan diduga sebagai provokator yang menyulut api kemarahan dan memicu pengeroyokan seorang guru (dosen) senior. Lalu, seorang oknum guru agama (guru ngaji) telah dengan tanpa berperikemanusiaan ikut tersulut untuk melakukan pemukulan dan pengeroyokan sampai menyebabkan dosen tersebut mengalami perdarahan otak.
Akal sehat manapun tidak mampu melogikakan perbuatan biadab yang dilakukan oleh oknum guru ini. Bagaimana seorang guru yang setiap harinya menyuarakan kebaikan dan kebenaran rela menganiaya orang lain, apalagi yang dianiaya juga adalah seorang guru. Dunia akademik berduka oleh perilaku pendidik yang brutal dan biadab tersebut.
Terlebih ada pula guru yang bergelar profesor bukannya menunjukkan sikap empati terhadap kolega yang mengalami pengeroyokan kejam, justru membuat pernyataan seolah menyetujui dan membenarkan perilaku biadab yang dilakukan oleh para pengeroyok tersebut. Di manakah karaktermu?
Bagaimanakah guru ini dapat menjadi model karakter kalau dari mulutnya keluar kata-kata kasar yang menyiratkan intoleransi, kebencian, kekerasan, dan kekejaman? Meski belakangan diklarifikasi bahwa hal itu merupakan candaan, justru menjadi bumerang baginya, kok bisa-bisanya membuat candaaan yang sifatnya mengolok-olok dan merendahkan di atas penderitaan orang lain?
Ujaran seperti di atas tentu sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang yang bergelar guru apalagi guru yang menyandang profesor. Seorang profesor adalah seorang yang profesional bukan hanya secara intelektualitas, tetapi juga dalam kompetensi diskursus atau wacana yang disampaikan kepada khalayak publik dan sikap yang menunjukkan karakter seorang yang patut diteladani.
Terlepas dari apa yang telah dilakukan tersebut, pemerintah hendaknya tegas memberikan hukuman dan sanksi yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan kepada para oknum guru yang telah memprovokasi dan bertutur tidak senonoh, apalagi yang telah berbuat biadab. Kata “maaf” yang sudah sangat sering diumbar oleh mereka yang tidak bertanggung jawab mestinya tidak begitu saja menjadi acuan untuk tidak menindaklanjuti kasus.
Ketegasan sangat perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini pihak berwajib untuk memberikan efek jera kepada mereka, agar tidak sering mengumbar wacana, perilaku, dan sikap kasar kepada orang lain yang bersifat meremehkan, merendahkan, apalagi menghina, dan sampai menganiaya. Seorang akademisi wajib hukumnya untuk memiliki kompetensi sosial dan kepribadian yang baik.
Sebagai makhluk sosial, seorang guru mestinya menunjukkan kemampuan berhubungan sosial yang baik bukan hanya kepada peserta didik yang diajar tetapi juga kepada kolega. Meskipun kolega disini tidak berhubungan langsung dengannya, guru atau dosen dari institusi atau perguruan tinggi lainpun adalah kolega. Teman sekerja dalam satu profesi yang sama (baca: mendidik) yang juga perlu dihargai dan didukung, terutama mereka yang menyuarakan kecintaan dan melakukan inovasi dan kemajuan untuk NKRI.
Di samping itu, seorang guru hendaknya memiliki kepribadian yang mampu menjadi teladan. Kata guru mengindikasikan hal tersebut, yaitu gugu dan tiru. Seorang guru yang berpekrpibadian adalah mereka yang mampu berempati, bertoleransi, dan menunjukkan cinta kasih bukan saja kepada peserta didik yang diajar, namun juga kepada kolega baik internal maupun eksternal institusi tanpa memandang perbedaan dalam SARA, dan juga kecintaan kepada NKRI, yang telah memberikan bukan hanya gaji tetapi juga ruang gerak berkreasi dalam profesi yang diemban.
Mengacu pada kasus penganiayaan tersebut di atas, sangat tepat kiranya pemerintah saat ini kembali menghidupkan kegiatan yang dulu pernah sukses dilakukan pada tahun 1980-an, yaitu kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Butir-butir Pancasila yang berjumlah 45 mengandung ajaran-ajaran karakter, yang menjadi landasan filosofis berbangsa dan bernegara, perlu diejawantahkan kembali.
Para guru, dosen atau ASN lainnya mungkin perlu diberikan penataran 100 jam bagi yang baru menjadi PNS dan pola 25 sampai dengan 50 jam untuk mereka yang sudah pernah mendapatkan pola penataran 100 jam terutama bagi mereka yang sudah PNS 10 tahun ke atas dengan tujuan untuk penyegaran dan penguatan. Semoga dengan menghidupkan kembali pola penataran ini, Indonesia bisa terhindar dari sikap dan perilaku intoleran, radikalisme, dan terorisme, yang dapat mengancam, membahayakan, dan menghancurkan negara oleh bangsanya sendiri.
Penulis, Guru Besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha