DENPASAR, BALIPOST.com – Tindakan tegas Gubernur Bali, Wayan Koster untuk memperintahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia Wilayah Bali yang dipimpin oleh Jamaruli Manihuruk melakukan pendeportasian terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang membuat foto tanpa busana di pohon yang disucikan oleh Krama Desa Adat Bayan, Desa Tua, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan diapresiasi. Petajuh I Bidang Adat, Agama, Seni Budaya, Tradisi dan Kearifan Lokal Bali Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, I Gusti Made Ngurah bersama Bendesa Adat Bayan, I Wayan Negeriawan menilai tindakan itu sangat tepat.
Menurut Gusti Made Ngurah tindakan deportasi tersebut adalah kebijakan yang bagus untuk memberikan efek jera kepada wisatawan yang berbuat tidak etis di Pulau Dewata. Hal ini penting dilakukan guna terwujudnya pariwisata Bali yang berkualitas dengan menjaga martabat keluhuran kebudayaan Bali.
Kasus WNA yang bertindak tidak etis di tempat yang disakralkan oleh Krama Bali, kata Gusti Made Ngurah harus dijadikan pembelajaran oleh semua stakeholder. Termasuk di dalamnya ada pelaku pariwisata (tour guide), pengelola destinasi wisata, pemerintah yang membidangi kepariwisataan, hingga pemerintahan desa serta desa adat.
Menurutnya, tidak semua wisatawan yang berkunjung ke Bali tahu tentang tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Akibat sedikitnya wawasan mereka tentang kebudayaan Bali yang sifatnya sakral dan non sakral. “Sehingga kasus ini menjadi momentum untuk kita semua, khususnya pelaku pariwisata dan pemerintah yang membidangi pariwisata untuk hadir di tengah-tengah wisatawan yang datang ke Bali dengan memberikan informasi yang akurat terkait destinasi wisata yang mana saja boleh dikunjungi dan mana saja yang tidak boleh dikunjungi di Bali, guna menimalisir terjadinya kasus pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan Hindu di Pulau Dewata,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah yang membidangi kepariwisataan, termasuk pihak imigrasi harus segera mengumpulkan pelaku pariwisata, seperti tour guide hingga pengelola destinasi wisata dan lainnya untuk memberikan mereka pemahaman agar kasus seperti ini tidak kembali terulang lagi. “Harus ada penyatuan persepsi untuk menjaga kawasan suci di Bali yang menjadi daya tarik wisata, apakah nanti informasi ke wisatawan itu melalui informasi digital, ataupun informasi secara langsung dari guide-nya, hingga papan informasi di obyek wisata, sehingga para wisatawan mengerti dan ada batasannya bahwa ketika mereka ingin melihat keindahan obyek wisata spiritual, para wisatawan ini hanya bisa melihatnya cukup dari halaman luar saja atau nista mandala,” tandasnya.
Sementara untuk desa adat, Gusti Made Ngurah menyebut akan kembali melakukan sosialisasi ke desa adat di Bali terkait Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 tentang Fasilitasi Pelindungan Pura, Pratima, dan Simbol Keagamaan dengan tujuan untuk terciptanya perarem yang melindungi pura, pratima dan simbol keagamaan. “Sekarang pandemi Covid-19 sudah melandai, kami di MDA akan kembali mengenjot sosialiasi Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 agar segera Desa Adat di Bali memiliki perarem tersebut,” katanya.
Sementara itu, Bendesa Adat Bayan, I Wayan Negeriawan menyebut deportasi yang dilakukan Kemenkumham RI Wilayah Bali kepada Wisman atas nama Alina Fazleeva dan Amdrei Fazleev asal Kewarganegaraan Rusia adalah keputusan yang sangat disetujui. Karena tindakan ini telah membuat krama di Desa Adat Bayan harus melaksanakan upacara caru dan guru piduka terhadap pohon yang disakralkan.
“Saya setuju dilakukannya deportasi, karena akibat tindakannya, kami di desa adat pada saat piodalan di Pohon Kayu Putih tepat pada rahina Anggara Kasih Julungwangi akan melaksanakan upacara caru dan guru piduka supaya tempat yang telah dianggap ‘cemer’ atau kotor kembali bisa dibersihkan secara niskala, dan Pohon Kayu Putih yang disucikan oleh Krama Desa Adat Bayan ini bisa terus memberikan kemakmuran untuk masyarakat sekitar,” pungkasnya. (kmb/balipost)