Seorang warga membersihkan kandang ternak babinya di Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah menjangkiti ternak di Jawa Timur. Bali sebagai pulau terdekat harus mewaspadainya karena risikonya sangat tinggi.

Menurut Ahli Virologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana, Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, penyakit ini sangat mudah menyebar, bahkan bisa menyebar lewat angin. Dengan PMK sudah ditemukan di Jawa Timur pada bulan April, artinya penyebarannya sudah sangat banyak.

Penyakit ini bisa menyebar melalui hewan yang dilalulintaskan ataupun daging dari skala industri maupun skala rumah tangga. Apalagi, hampir di setiap meter pantai di Bali, bisa sebagai tempat berlabuh jukung dari luar Bali yang juga menjadi  lalu lintas perdagangan.

Jika melihat kondisi ini, menurutnya, risiko penyebaran PMK di Bali sangat tinggi. Bahkan sekarang ada kecurigaan, kasus yang dipelajari, sudah ada di Lombok. “Tentu risiko PMK masuk Bali sangat tinggi sekali. Apalagi setiap meter pantai di Bali, bisa menjadi tempat berlabuh jukung,” kata Mahardika, Jumat (13/5)..

Baca juga:  2045, Bali Targetkan Seluruh Kendaraan R2 Bertenaga Listrik

Begitu PMK Masuk Bali, dia menyebut akan sulit dikendalikan, karena di Bali banyak ada babi. Dari data yang ada, Babi ini disebutnya sebagai amplifier host (inang penguat) untuk penyakit ini.

Udara pernapasan pada babi, membawa virus sampai 1.000 kali lebih banyak, dibandingkan sapi, kambing, dan domba. “Risiko PMK masuk Bali sangat tinggi sekali. Mengingat di Bali banyak babi. Karena, lebih banyak virus di dalam udara pernapasan babi,”  ucapnya.

Terkait penularan PMK, dapat melalui banyak cara. Penularan menurutnya bisa melalui hewan ke hewan, juga kemungkinan ada lalu lintas dari pulau. Meski tidak dari pelabuhan tidak resmi, bisa masuk dari pelabuhan resmi bersama daging olahan.

Baca juga:  Kebakaran Landa Tebing, Tiga Unit Damkar Dikerahkan

Penyakit ini bersifat zoonosis, dengan gejala ringan. Seperti melepuh ringan, demam ringan. Penularan ini juga bisa melalui manusia ke peternakan baru, dalam arti, Orang bisa menjadi media perantara.

Penyakit ini, kata dia tidak membunuh fatal hewan, karena dari data, angka kematian di bawah 5 persen. Jadi, cenderung yang mati itu hanya hewan muda.

Yang masalah dari PMK ini, terjadi penurunan produksi yang luar biasa, begitu juga hewan menjadi kurus, produksi susu berhenti atau menurun 50 persen dan sebagainya. Yang terlihat dari PMK ini adalah penurunan produksi yang luar biasa dan larangan ekspor.

Yang harus dilakukan peternak di Bali, kalaupun nanti vaksin ada, tetap saja sebelum dideklarasikan sebagai negara bebas, tidak bisa melalulintaskan produk peternakan, terutama ruminansia dan  babi. Pihaknya menghimbau kepada masyarakat, begitu ada gejala melepuh pada mulut, perdarahan atau sariawan pada hewan, kemudian pincang, itu harus segera dilaporkan.

Baca juga:  Masuki Hari ke-10, Penambahan Kasus Positif COVID-19 di Bali Masih Terjadi

Hewan itu tidak boleh pergi kemanapun, dan harus tetap di kandang. Dinas terkait harus segera melokalisir wilayah untuk mengantisipasi penularan lebih luas. “Begitu ada kasus lepuh, harus segera ditutup wilayahnya, untuk mengantisipasi penyebaran dan menekan kerugian lebih besar. Untuk di Bali, belum terpantau apakah sudah ada, namun risikonya sangat tinggi karena bisa menyebar lewat angin. Termasuk juga bisa melalui perantara lalat dan nyamuk. Ini penyebarannya sangat mudah sekali,” katanya mengingatkan. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN