MANGUPURA, BALIPOST.com – Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta selaku Ketua Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Provinsi Bali menghadiri upacara madiksa/dwijati Ida Bhawati Pasek Putu Bagiada dan Ida Bhawati Pasek Istri Gusti Ayu Nyoman Sayang, di Dusun Celuk Buluh, Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Minggu (15/5). Sebagai wujud bhakti dan dukungan atas upacara dwijati, Giri Prasta secara pribadi menyerahkan dana punia sebesar Rp25 juta yang diterima ketua panitia, Jero Mangku Ketut Wijana.
Pada kesempatan tersebut juga hadir Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama, Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, PHDI Provinsi Bali dan PHDI Buleleng. Sebagai narasumber, Ida Pandita Mpu Acarya Jaya Wedananda.
Dalam dharma wacananya, Giri Prasta mengajak sameton Pasek untuk ngrastiti/mendoakan agar upacara dwijati ini dapat terlaksana dengan baik dan paripurna. Sebagai Ketua MGPSSR Bali, Giri Prasta sudah berkomitmen mempersatukan sameton Pasek dengan berbagai program yang dijalankan, seperti melaksanakan lokasabha kota/kabupaten, hingga membuat Sabha Pandita, Sabha Walaka dan Sabha Yowana.
Sekarang Jagabaya Dulang Mangap dan Jagabaya Pasek sudah bersatu. Untuk di Kabupaten Buleleng, pihaknya bersama MGPSSR Buleleng sudah melakukan pendataan sulinggih, bhawati, pemangku, dadia agung dan dadia alit, termasuk jumlah sameton Pasek di Buleleng. Begitu pula pengurus MGPSSR kabupaten/kota lainnya juga telah melakukan pendataan sameton.
Mengenai upacara dwijati, Giri Prasta menyampaikan mengenai kasta, wangsa dan warna. Menurutnya, wangsa adalah sastra dan sastra adalah wangsa. Ini berdasarkan lontar Sastra Wangsa. Kalau warna, menurutnya semua warga lahir Sudra, berdasarkan Lontar Bongkol Pangasraya. Lontar ini memuat ajaran tentang Tingkahing Adiksa dalam melenyapkan Sudra Wangsa, Wesya Wangsa dan Kesatria Wangsa, serta melaksanakan upacara mawinten untuk menjadi brahmana, sebagai seorang wiku sejati.
“Siapa yang melaksanakan dwijati, rumahnya disebut griya. Itulah yang dimaksud dengan Wasudewa Kutumbakam, kita adalah saudara,” terangnya.
Selain itu, madwijati juga disebut dalam lontar Catur Bandana Dharma. Pertama, Amari Aran yakni seorang sulinggih tidak lagi menggunakan nama kelahiran. Namanya berganti sesuai dengan abiseka yang diberikan oleh nabe. Kedua, Amari Sesana yaitu perubahan perilaku, karena sulinggih tidak lagi berperilaku seperti umat pada umumnya, termasuk dalam urusan berbusana. Ketiga, Amari Wesa yakni seorang sulinggih memiliki standar penataan rambut, sesuai dengan aliran yang diambil sulinggih tersebut. Dan keempat, Amulahaken Guru Susrusa yakni seorang sulinggih harus taat dan bhakti kepada guru spiritualnya atau nabe yang dalam kehidupan seorang sulinggih juga merupakan Siwa Sekala.
Giri Prasta juga menyebut terdapat Lontar Tri Katrining Katon yang menyebutkan Tiga Gagelaran. Terhadap hal tersebut, Giri Prasta selaku Ketua MGPSSR Bali menegaskan, tidak ada Tri Sadaka dan tidak ada Sarwa Sadaka, yang ada hanya Sadaka. (Adv/balipost)