Oleh Dewa Gde Satrya
International Museum Day (IMD) yang dirayakan setiap 18 Mei, tahun ini mengangkat tema “The Power of Museum”. Kekuatan museum yang dirumuskan oleh ICOMOS (International Council of Museums) sekaligus merupakan value preposition yang khas dan unggul, yakni, museum sebagai lembaga mitra PBB dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, membantu masyarakat memasuki era digitalisasi dan memberikan pendidikan. Berdekatan dengan IMD, setiap 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional.
Dua momentum ini dapat dimaknai dengan menggugah kembali kesadaran publik akan pentingnya museum bagi peradaban bangsa. Bersama perpustakaan yang menyediakan buku dan referensi, museum memegang peran utama dan strategis dalam mengurai dan mengatasi persoalan kebangsaan yang berdampak pada eksistensi dan masa depan bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia. Perpustakaan di satu sisi menyediakan sumber bacaan yang mengajak pengunjung (masyarakat) melakukan upaya ekstra dan meluangkan waktu guna menyelami kekayaan informasi dan pengetahuan. Sementara museum, erat kaitannya dengan keberlanjutan sejarah bangsa yang melalui koleksi yang dimiliki, pengunjung diajak untuk meningkatkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia sekaligus meresapi dan meneladani nilai-nilai yang terkandung dalam produk budaya yang dipamerkan.
Justru dengan karakteristik ini menyebabkan museum dan perpustakaan dijauhi masyarakat. Perpustakaan menyimbolkan aktivitas yang dewasa ini dirasakan kurang menyenangkan dan menjadi kebiasaan umum masyarakat Indonesia. Dunia membaca di satu sisi dan pemupukan rasa nasionalisme di sisi lain, yang keduanya saling berkaitan dalam pembentukan karakter manusia Indonesia. Sebaliknya, aktivitas membaca, mempelajari sejarah dan mengagumi produk budaya Indonesia dirasakan seperti ‘dunia lain’ yang sulit, berat, kuno dan tidak up to date.
Sekurangnya ada tiga karakteristik dan kesamaan dasar perpustakaan dan museum yang menjadi penyebab rendahnya kunjungan masyarakat. Pertama, sama-sama merupakan tempat yang mengoleksi berbagai sumber pengetahuan dan informasi yang di dalamnya menentukan eksistensi dan masa depan bangsa. Kedua, adanya persepsi dominan dan nilai yang salah kaprah di masyarakat, menyebabkan kedua institusi ini sama-sama tersipu malu untuk hadir, menawarkan diri dan mendekati ‘pasar’ dengan rasa percaya diri yang tinggi. Jarang kita melihat ada promosi, selebaran atau brosur perpustakaan dan museum yang tersebar dengan tampilan yang ‘menggoda’.
Terkait hal ini kedai kopi modern, Starbucks, pernah membuat terobosan unik untuk menggugah awareness masyarakat akan museum. Brand populer yang nge-trend menjadi jujukan kaum modern ini cukup jeli dalam mengambil langkah strategis yang berdampak positif dalam dua hal sekaligus. Sebagai merek ‘impor’ yang diasosiasikan cinta dan peduli dengan kebudayaan Indonesia di satu sisi, sekaligus membantu percepatan pembentukan persepsi mengunjungi museum sebagai gaya hidup modern sebagaimana Starbucks juga adalah ikon gaya hidup modern. Ketiga, oleh karena keberadaan museum dan perpustakaan bukan menjadi hal yang penting (primer) di masyarakat, maka pengelolaannya pun terkesan tidak total.
Susantari, dkk (2005) dalam penelitian “Pengaruh Kecemasan di Perpustakaan (Library Anxiety) Terhadap Efektivitas Pemanfaatan Perpustakaan Oleh Mahasiswa di Perpustakaan Pusat Universitas Airlangga” menyimpulkan, hambatan terhadap pustakawan adalah indikator yang paling dirasakan oleh responden. Secara berurutan disusul hambatan sarana penelusuran dikarenakan kondisi sarana penelusuran tidak banyak membantu. hambatan kenyamanan ruangan dan pengaturan koleksi, hambatan dengan sarana atau perlengkapan dan terakhir hambatan dengan pengetahuan perpustakaan.
Sementara itu, Ardiwidjaja (2008) menyatakan, di pihak internal, terdapat kompleksitas fungsi museum yang tidak diimbangi profesionalitas SDM, belum mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi, peragaan koleksi museum tidak ditata secara modern, belum berkembang sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi masyarakat, rendahnya kreatifitas program dan aktivitas museum, kurang memadainya data dan informasi terkait dengan koleksi, dan belum diintegrasikannya museum dalam sistem pendidikan nasional kita. Di pihak eksternal, persepsi masyarakat tentang museum yang belum terbangun dengan baik, kurangnya peran para ahli terhadap peran museum sebagai bagian dari pranata sosial, rendahnya minat masyarakat berkunjung ke museum dibandingkan dengan negara maju, belum adanya sinergisitas dari stakeholder kepariwisataan untuk menempatkan museum sebagai obyek dan daya tari wisata unggulan, dan kurangnya minat tour operator menjual museum dalam paket-paket wisata. Kiranya museum di Indonesia semakin berfokus pada penguatan value preposition untuk menarik semakin banyak orang untuk berkunjung. Selamat Hari Museum Sedunia 2022.
Penulis, Dosen Tourism Business Universitas Ciputra Surabaya