Reza Lukiawan. (BP/Istimewa)

Oleh Reza Lukiawan

Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh para aparatur negara selalu menjadi sorotan masyarakat. Good governance yang digadang-gadang sebagai ukuran penyelenggaraan yang bersih kerap dipertanyakan karena masih saja terjadi kasus korupsi yang melibatkan para oknum abdi negara.

Berkaca dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi dan Intoleransi di Kalangan PNS. Mayoritas responden beranggapan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah berupa penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi (26,2%), kerugian keuangan negara (22,8%), gratifikasi (19,9%) dan suap (14,8%).

Tindak pidana korupsi (tipikor) menurut UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 diidentifikasi menjadi 7 hal besar yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Jika para aparatur yang merupakan penyelenggara negara ini masih bebas berkorupsi apapun itu jenisnya, hal ini menjadi
sinyal bahaya dalam pengelolaan keuangan
negara.

Contoh jelasnya, korupsi yang beberapa waktu silam, dimana paket sembako bantuan yang kualitasnya jauh di bawah harga pertanggungjawaban (SPJ). Sangat ironis, bahkan bantuan sistem yang peruntukannya untuk rakyat pun tega diembat.

Baca juga:  Generasi Muda dan Politisi Sejati

Hal yang disoroti ialah beberapa pejabat tersebut sebagai sistem dalam proses pengadaannya karena si aparatur menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen maupun Pejabat Pengadaan Barang/Jasa. Posisi ini memang sangat rawan godaan penyuapan dari pihak luar yang berperan sebagai penyedia.

Data dari kasus yang ditangani KPK seolah mengkonfirmasi pula jumlah perkara tipikor dimana sebanyak 65% berkaitan dengan penyuapan dan 21 persen terkait proses pengadaan barang/jasa. Survei yang dilakukan LSI juga mengungkap bahwa kegiatan koruptif yang paling sering terjadi di instansi pemerintah yaitu di bagian pengadaan (47,2%), disusul kemudian bagian perizinan usaha (16%) dan bagian keuangan (10,4%).

Ketiga bagian ini pula yang sering berinteraksi dengan sistem baik orang perorangan maupun badan usaha.
Ironis memang, ketika bagian yang banyak bersinggungan dengan masyarakat akan berkonsekuensi pula munculnya godaan penyuapan,
pemberian uang agar urusan menjadi sistem, hingga demi mendapat proyek pemerintah dengan iming-iming fee yang dijanjikan sebagai balas budi kepada para ASN yang menduduki jabatan tersebut.

Baca juga:  "Good Governance" Perguruan Tinggi

Namun apapun alasannya korupsi tidak bisa dibenarkan. Korupsi pasti merugikan anggaran negara yang berujung pada menyengsarakan rakyat. Mengapa korupsi itu bisa terjadi? Ada teori
yang relevan dikemukakan oleh Jack Bologne,
yaitu teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Expose).

Bahwa korupsi dilandasi karena adanya sistem keserakahan dalam diri individu, korupsi timbul karena adanya kesempatan untuk memperkaya diri, korupsi juga dipengaruhi sistem kebutuhan dalam hidupnya.
Dalam konteks korupsi yang dilakukan oleh ASN dapat dilihat dari kacamata sejauh mana kesejahteraan yang diperolehnya dengan membandingkan antara pendapatan yang diterima
dengan keinginan hidup.

Sebab walaupun kebutuhan sudah tercukupi tapi keinginan manusia tidak akan pernah ada puasnya. Presiden Jokowi secara tegas mengatakan bahwa mekanisme dan prosedur birokrasi pemerintah yang rumit harus disederhanakan dengan dukungan teknologi digital seperti e-budgeting, e-procurement, e-audit dan lainnya.

Baca juga:  Korupsi, Dilawan Rakyat Dirangkul Penguasa

Selain itu, keinginan presiden untuk mencegah terjadinya korupsi secara sistemik dari hulu ke hilir dapat ditempuh juga dengan penerapan sistem manajemen anti penyuapan seperti dalam standar
SNI ISO 37001:2016. Standar ini merupakan adopsi dari standar internasional ISO dan telah ditetapkan menjadi SNI.

Dalam perkembangannya hingga Desember 2020, standar ini telah diterapkan oleh 273 organisasi baik instansi pemerintah maupun swasta. Mendorong penerapan SNI ini di instansi pemerintah rasanya menjadi urgensi di tengah kasus korupsi yang masih saja terus terjadi.

Apalagi pada bagian yang dinilai sebagai area rawan
terjadinya korupsi yaitu bagian pengadaan, perizinan usaha dan keuangan. Pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya sebatas slogan, himbauan, pemasangan banner dan spanduk di sudut ruangan yang niatnya untuk menggugah kepatuhan dan budaya antikorupsi para aparatur negara. Diperlukan sebuah sistem yang jelas, baik reward maupun punishment yang sungguh-sungguh diterapkan sehingga mampu menutup celah dan peluang korupsi.

Penulis, Peneliti di Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar BRIN.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *