Putu Dian Ekawati. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Dian Ekawati

Perempuan menurut pandangan masyarakat sebagai makhluk yang memiliki keunikan, yang berbeda dengan makhluk laki-laki. Keunikan perempuan ini, karena hak reproduksi yang dimilikinya berbeda dengan laki-laki (mengandung, menyusui dan menstruasi). Kesehatan reproduksi perempuan memegang peranan penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia dari generasi ke generasi, sehingga terjaminnya keterwujudan kesehatan reproduksi merupakan keharusan bagi setiap negara.

Kesehatan reproduksi sebenarnya bukan hanya menjadi hak perempuan tetapi juga laki-laki. Namun dalam setiap pembahasan kesehatan reproduksi lebih banyak memfokuskan pembahasan kepada perempuan. Hal tersebut dikarenakan banyak pelanggaran hak kesehatan reproduksi terjadi pada perempuan dari pada laki-laki.

Pada proses reproduksi, perempuan memiliki hak asasi yang harus dijamin pemenuhannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 49 ayat (3) UU HAM, yang menetapkan bahwa hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Oleh karena itu, perempuan harus dilindungi dari kemungkinan terjadinya kehamilan yang
tidak diinginkan agar tidak menimbulkan upaya pengguguran (aborsi) yang dapat membahayakan keselamatan jiwa dan kesehatan reproduksinya. Di samping itu perempuan juga harus dilindungi dari kekerasan seksual baik di luar maupun di dalam rumah tangga, sehingga tidak terjadi kekerasan seksual yang mengakibatkan trauma yang mendalam, seperti perkosaan.

Baca juga:  Ini, Penyebab Terungkapnya Kasus Siswi Aborsi

Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di
kalangan masyarakat. Kejahatan pemerkosaan mengalami peningkatan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Korban pemerkosaan mengalami banyak
kerugian di antaranya fisik, psikis, seksual dan ekonomi.

Dampak ini menekan korban secara psikis atas ketidaksiapkannya menerima kenyataan
harus mengalami kehamilan. Tindakan aborsi yang tidak aman mengandung risiko yang cukup tinggi, yaitu apabila dilakukan tidak sesuai dengan standar profesi medis, misalnya dengan cara : penggunaan ramuan peluruh rahim, manipulasi fisik, seperti dengan pijatan
pada rahim agar janin terlepas dari rahim, menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril dan berakibat negatif pada rahim.

Baca juga:  Kepekaan Perjuangkan Aspirasi Bali

Di Negara Indonesia aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan bagi pelakunya. Ketentuan ini dituangkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana) yang diatur dalam Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350.

Selain itu hukum positif yang mengatur aborsi di Indonesia adalah Undang-Undang No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan). Undang-Undang Kesehatan merupakan ketentuan spesialistik yang memiliki kemampuan menderogat KUHPidana yang bersifat umum. Dalam UU Kesehatan, aborsi diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang dituangkan dalam Pasal 75 dan Pasal 76.

Mengenai syarat waktu yang ditentukan oleh Pasal 76 UU Kesehatan agar dapat dilakukan
aborsi, yakni umur janin tidak lebih dari 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan dengan sertifikasi dari kementrian kesehatan.

Aborsi karena perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Ayat (2) Huruf (b) dan Pasal 76
Huruf (a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dapat dijadikan sebagai
alasan pembenar (justification of crime) dalam upaya pemenuhan hak reproduksi perempuan
bagi perempuan korban perkosaan. Perlindungan hukum atas hak reproduksi perempuan bagi perempuan korban perkosaan dalam hal dilakukannya tindakan aborsi tanpa indikasi medis berdasarkan tujuan hukum pengayoman, adalah: Pertama, perlindungan hukum menurut hukum positif (lus constituium) sebagai perlindungan pasif dalam tujuan hukum pengayoman, yang terdiri dari: hak reproduksi perempuan sebagai hak asasi manusia; tenaga medis yang kompeten dan berwenang; persetujuan tindakan kedokteran (informed consent); sarana kesehatan yang memenuhi syarat; dan konseling pratindakan dan pascatindakan.

Baca juga:  Akuntabilitas dalam Tradisi Bali

Kedua, perlindungan hukum menurut hukum yang dicita-citakan (lus constituendum) sebagai
perlindungan aktif dalam tujuan hukum pengayoman, yang terdiri dari: pengadilan dan hakim
ad hoc bagi penetapan tindak pidana perkosaan; dan perkosaan sebagai delik kekerasan dalam hukum pidana Indonesia.

Penulis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *