DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali, Wayan Koster telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 07 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Kuningan dengan Upacara Atma Kerthi Sebagai Pelaksanaan Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru. Instruksi ini mendorong semua pihak bersinergi secara goyong royong melaksanakan perayaan Rahina Tumpek Kuningan secara niskala dan sakala berdasarkan nilai-nilai adiluhung Atma Kerthi sesuai tata-titi kehidupan masyarakat Bali.
Kebijakan ini mendapat apresiasi dari Guru Besar UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A., dan Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, Gianyar.
Menurut Prof. Surada, Surat Instruksi Gubernur Bali Nomor 07 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Kuningan Dengan Upacara Atma Kerthi Sebagai Pelaksanaan Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru adalah menguatkan bahwa perayaan tumpek Kuningan seyogianya dapat dijadikan suatu momentum membangkitkan kesadaran diri umat mengevaluasi upaya mewujudkan rasa aman, damai dan sejahtera agar dalam hari-hari selanjutnya ada peningkatan yang nyata dirasakan oleh umat, agar tidak semata terhenti hanya pada prosesi upacara dan upakara di tingkat ritual semata, dalam berbagai kegiatan di jalan dharma. Makna pelaksanaan hari Raya Kuningan adalah pada hari itu segenap umat Hindu memohon amertha berupa kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Mahadewa, yang disertai para leluhur (dewata-dewati).
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar ini, mengungkapkan Hari Raya Kuningan jatuh pada hari sabtu (saniscara) kliwon wuku kuningan atau juga disebut Tumpek Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan 10 hari setelah Galungan. Perayaan Kuningan sedikit berbeda dengan perayaan Galungan. Dimana, secara mitologi umat Hindu di Bali percaya bahwa pada hari Kuningan para leluhur yang telah distanakan dari Galungan akan kembali ke sunya. Sehingga, hari raya Kuningan adalah puncak dari perjuangan menegakkan dharma.
“Pada hari raya Kuninganlah dilambangkan sebagai hari raya yang penuh waranugraha bagi yang sukses berjuang menegakkan dharma. Waranugraha Hyang Widhi itu berupa rasa aman (raksanam) dan sejahtera (dhanam). Rasa aman dan sejahtera sebagai karunia dari Hyang Widhi itu dilambangkan dalam banten Kuningan, seperti tebog, selanggi, nasi kuning, tamiang, ter, kolem, dan endongan. Semuanya itu melambangkan suatu waranugraha dan perjuangan untuk mendapatkan rasa aman atau ketahanan diri dan kesejahteraan ekonomi,” ungkap Prof. Surada, Jumat (17/6).
Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita, menjelaskan bahwa makna filosofis Tumpek Kuningan yaitu sebagai upaya untuk mendapatkan kemakmuran sang diri sejati, “atmajnanam” bukan yang lain, setelah memenangkan “diri” pertempuran kehidupan “jayate” pada hari Suci Galungan. Upaya ini berhasil jika dan hanya jika krama Hindu ada usaha keras (hard works) dan cerdas (smart works), tidak hanya berpangku tangan apalagi hanya menengadahkan tangan. Perlu ada mimpi besar dalam Diri Sang Sejati. Cita-cita besar ini, jangan “lipya” memohon kepada Sanghyang Widhi Wasa dan pada para leluhur/bhatara-bhatari ring kahyangan/sanggah pemrajan, sebagai laku spiritualitas-esotheris.
Menurut Ida Pandita, pertempuran dalam mengarungi kehidupan pencapaian mimpi besar dan cita-cita yang terus berlanjut perlu pengamanan yang ekstra ketat. Sehingga hari suci kuningan ini disimbolkan dengan jejahitan, tamiang sebagi simbol perlindungan atau pertahanan diri menghadapi dan mengarungi perputaran “cakra” roda kehidupan yang kejam dan sangat keras ini. Sampian gantung sebagai lambang penolak segala rintangan yang merintangi mencapai kemakmuran. Tl
Ter adalah simbol manah/pikiran dimana manusia hendaknya memfokuskan pikiran yang suci “sudha jnanam” hanya satu tujuan, yakni demi mencapai kemakmuran bukan yg lain. Sedangkan endongan/kompek sebagai lambang wadah kemakmuran yg telah dicapai itu sebagai bekal yadnya untuk lagi dipersembahkan kepada Hyang Para Dewata, leluhur/betara-betari dan sebagai tabungan investasi kekayaan bagi para sentana keturunan yang masih hidup dlm mengarungi kehidupan menggapai cita-cita pengetahuan/jnana yang setinggi-tinggi bermental makmur “svastaye” dan bermental pemenang atas segala-galanya dalam diri sejati (atma kertih).
“Sangat tepat Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan instruksi tentang Perayaan Rahina Tumpek Kuningan dengan Upacara Atma Kerthi sebagai upaya menggaungkan kembali makna filosofi dari Tumpek Kuningan untuk meningkatkan kesadaran diri dalam mewujudkan rasa aman, damai dan sejahtera,” pungkas Ida Pandita. (kmb/balipost)