Oleh I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja
Jika dilihat negara-negara kecil pada umumnya, hampir tidak ada yang menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas, mereka cenderung konsen pada sektor jasa, atau sektor lainnya untuk menggerakkan ekonominya. Seperti halnya Pulau Bali dengan luas wilayah yang sangat kecil, hanya 5.636 km2 atau 0,29% dari luas wilayah Indonesia, akan relatif sulit menjadikan sektor pertanian sebagai andalan ekonominya.
Apa lagi selama ini pembangunan infrastruktur yang ada dominan untuk mendukung pariwisata. Statemen ini adalah bagian dari diskusi Tim Kelitbangan Kabupaten Badung, Rabu 18 Mei 2022 yang ternyata mampu sebagai triger yang membuat diskusi menjadi lebih hangat, serius dengan pembahasan lebih mendalam dan holistik. Diskusi saat itu memang membahas topik yaitu ‘’Transformasi Potensi Ekonomi Kabupaten Badung dari Sektor Pariwisata ke Sektor Non Pariwisata’’. Hal ini sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan terpuruknya perekonomian di Kabupaten Badung yang selama ini mengandalkan sector pariwisata sebagai sumber pendapatan utama.
Setelah dua tahun lebih pandemic Covid-19 melanda, kini trend data sudah menuju ke arah kondisi membaik. Pada saat bersamaan data statistik menunjukkan adanya pergeseran serapan tenaga kerja yang menekuni sektor pariwisata menurun dari 90.945 orang (2019) menjadi 58.829 orang (2021) dan sebaliknya pada sektor pertanian meningkat, dari 28.364 orang (2019) menjadi 34.213 orang (2021).
Momentum inilah yang hendak disikapi oleh Badan Litbang Kabupaten Badung, untuk melahirkan suatu rumusan rekomendasi kebijakan pasca pandemi Covid-19. Pada saat diskusi mencuat juga pandangan
bahwa distribusi pendapatan yang kurang adil
antara pelaku utama pasiwisata dengan mereka
yang menekuni bidang jasa pariwisata.
Demikian juga terhadap keberadaan produk pertanian
Bali yang dikatakan akan sangat sulit bersaing
dengan produk luar Bali, tetapi tetap memiliki
keunikan dan daya tarik tersendiri dalam aktifitas produksinya. Wacana tentang pemberdayaan
sektor pertanian akan menjadi sangat menarik
manakala terjadi krisis ekonomi, yang beberapa
kali pernah terjadi dan terakhir yang sangat kita
rasakan adalah karena dampak pandemi Covid-19.
Sama halnya dengan pendapat yang mencuat di awal tulisan tentang kondisi produk pertanian Bali yang sulit bersaing dengan daerah lain, rupanya juga sudah disadari di era Bapak Mangku Pastika menjadi Gubernur Bali.
Dikatakan oleh beliau akan sangat sulit membangun pertanian di Bali dengan dimensi kuantitatif terbesar,
terluas dan termodern sekalipun karena akan mudah disaingi oleh daerah lain. Justru yang mungkin adalah membangun pertanian yang ‘’unik/spesifik’’ yang tidak dimiliki oleh daerah lain, dan itu ada pada proses produksi dan pengolahan hasil yang atraktif.
Di dalamnya ada dimensi budaya, ritual agama, sosial dan kearifan lokal, didukung lingkungan alam dan kelembagaan seperti Subak yang sudah sangat terkenal. Jika predikat ‘’unik’’ pada setiap komoditas
mampu kita dapatkan, hal ini tentu akan menjadi
peluang bagi sektor pariwisata dalam pemasarannya.
Inilah bentuk nyata sinergitas pertanian dalam mendukung bahkan menambah daya tarik sektor pariwisata. Predikat ‘’unik’’ dengan embel-embel nama Bali sebagai branded dalam promosi, akan lebih menjamin produk tersebut semakin dikenal.
Dengan demikian komoditas tersebut akan memiliki cita rasa khas yang kemudian disertifikasi dengan nama ‘’Indikasi Geografis’’ (IG). Contoh ini ada pada produk pertanian Kopi Arabika yang tumbuh di sekitaran Desa Pelaga dan Belok Sidan, Kecamatan Petang, yang kini telah menyandang Sertifikat IG.
Dengan berbekal Sertifikat IG dan nama Bali pulalah, petani yang ada di sekitaran wilayah IG, telah mampu menembus pasar ekspor ke Jepang, Dubai dan sebagainya. Jadi dampak pariwisata itu ada yang bersifat langsung (direct) dan ada juga tidak langsung (indirect).
Penataan distribusi pendapatan ini memang perlu dilakukan, salah satu di antaranya dengan instrumen
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK), sebagai
salah satu instrumen yang memberi gambaran
tentang kemajuan pembangunan kebudayaan di
suatu daerah. Keunikan produk pertanian yang
mampu mendukung sektor pariwisata berbasis
budaya tersebut, tidaklah cukup berhenti sampai
di situ.
Sinergi ini juga harus siap mengadopsi perubahan yang begitu cepat sebagai dampak inovasi teknologi, khusnya teknologi digital. Adanya tambahan serapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 5.849 orang dalam kurun waktu 2019-2021 yang diduga berasal dari sektor pariwisata tentu lebih terampil dan terdidik.
Dengan demikian hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk mempercepat upaya ini.
Penulis, anggota Tim Kelitbangan Kabupaten Badung.