John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh Jhon De Santo

Banyak laporan menunjukkan kampus-kampus kita sedang dalam krisis kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan sepanjang 2020 melaporkan bahwa, dari 2.389 kekerasan terhadap kaum perempuan 53 persennya adalah kekerasan seksual. Kekerasan
seksual itu dialami 87 persen perempuan dan 13 persen pria. Di berbagai kampus, kekerasan seksual itu terjadi dari mahasiswa ke mahasiswa, dosen ke mahasiswa, dosen ke dosen, atau karyawan ke karyawan.

Sementara hasil survei oleh Mendikbudristek (2019) menunjukkan bahwa kekerasan seksual di kampus terbanyak ke-3 setelah di jalanan dan transportasi umum. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Kampus merdeka dari kekerasan seksual,” (2021), Ketua
Komnas Perempuan, Andy Yatriyana mengatakan, kekerasan terhadap kaum perempuan
mulai marak sejak Mei 1998. Berbagai peristiwa konflik yang terjadi setelah reformasi, menjadikan kaum perempuan sebagai target kekerasan seksual.

Andy mengutip data survei oleh Kemenag terungkap ada 1011 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi di kampus. Banyak kajian menunjukkan, kekerasan seksual itu antara lain disebabkan oleh semakin mudahnya akses pornografi di dunia maya dengan berbagai situs yang ditawarkan dan tersaji kepada siapa pun, kapan pun dan di mana pun.

Baca juga:  Jalani Sidang Perdana, Pelaku Kekerasan Seksual Tak Ajukan Keberatan

Para ahli psikologi mengatakan, bahwa kekerasan seksual sangat berdampak pada mental
si korban. Paling tidak terdapat tiga dampak kekerasan seksual. Pertama dampak psikologis.
Kedua, dampak fisik. Ketiga, dampak sosial. Dalam kehidupan masyarakat yang didominasi kaum pria, para korban perempuan umumnya menjadi objek yang disalahkan dan dikucilkan.

Tak heran, kekerasan seksual itu justru menjadi titik balik bagi korban untuk menjadi buruk. Ironisnya masyarakat kita pada umumnya menyalahkan si korban (victimize the victim), misalnya karena perilaku atau cara berpakaianya yang menggoda atau berada di lokasi dan waktu yang berisiko.

Dalam konteks kehidupan kampus, tentu sulit bagi si mahasiswi untuk tetap bertahan
di jalur pendidikan yang sedang ia tempuh. Banyak penelitian membuktikan, korban-korban kekerasan seksual yang tak lagi melihat jalan keluar dari situasi abusif tersebut akan menjadi putus asa dan kehilangan harapan.

Baca juga:  Sambut Hari Kartini, Rektor INSTIKI Apresiasi Kualitas Tenaga Pendidik Perempuan

Mereka pasrah, sulit meloloskan diri dan terjerat dalam ketidakberdayaan. Menanggapi keresahan masyarakat terhadap maraknya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengeluarkan Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan (PPKS) di
lingkungan perguruan tinggi. Permendikbud itu antara lain menuntut lembaga pendidikan tinggi untuk secara serius menanggapi isu kekerasan seksual di kampus dan membolehkan seluruh civitas akademika untuk melaporkan diskriminasi seks, termasuk pelecehan seksual, yang dilakukan baik melalui tulisan maupun secara lisan.

Kita patut mengacungi jempol kepada sikap tanggap pemerintah dalam hal ini Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, yang tanggap dalam merespons keresahan ini. Tapi dalam hemat penulis, pencegahan utama terhadap kekerasan seksual, yakni pencegehan sebelum terjadinya peristiwa itu, tak semudah membalik telapak tangan.

Pencegahan terhadap kekerasan seksual tidak bisa sekadar menerapkan peraturan ketat yang bersifat top down. Melainkan pencegahan itu lebih merupakan sebuah kebijakan yang tumbuh dari bawah (bottom up), tepatnya dari lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Di seputar topik kekerasan seksual, anak-anak usia remaja juga perlu mengetahui berbagai manifestasi seksual melalui cara-cara yang diperbolehkan dan dilarang.

Baca juga:  Konsisten Mengawal Kesetaraan Gender

Mereka harus mengetahui, komentar-komentar yang melecehkan, termasuk pegangan, sentuhan, rabaan yang menimbulkan birahi. Pencegahan terhadap kekerasan yang marak di
perguruan tinggi, bukan tanggung jawab kampus saja, melainkan tanggung jawab orangtua, sekolah dan masyarakat pada umumnya.

Masyarakat yang didominasi kaum pria dalam struktur hirarkis serta sikap toleran terhadap perilaku buruk akan melanggengkan perilaku buruk itu. Karena itu, untuk mencegah kekerasan seksual, kesetaraan gender perlu ditegakkan.

Sudah waktunya lebih banyak perempuan diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin di dalam kehidupan sosial. Hanya dengan demikian akan tercipta pandangan yang adil dan berimbang, tanpa bias dalam mengatasi berbagai persoalan, termasuk persoalan kekerasan seksual.

Penulis adalah pendidik, pengasuh Rumah Belajar Bhinneka; berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *