Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Makan siang bersama Presiden Jokowi dengan para ketua partai politik (parpol) koalisi pendukung pemerintah pada Rabu (15/6) di Presidential Lounge patut diapresiasi. Tanpa bermaksud masuk ke dalam ranah politik, namun aspek tersebut merupakan cara bangsa Indonesia yang selalu mengupayakan hidup rukun dan menikmati kebersamaan.

Meski sorotan bermakna politis di balik makan siang bersama sebelum pelantikan menteri baru, tradisi makan bersama yang diteladankan para pemimpin negeri ini menghadirkan atmosfer yang positif: persatuan dan kegembiraan. Keteladanan itu memberi inspirasi pada kehidupan keluarga, komunitas dan masyarakat, mengikat persaudaraan dan tali silaturahmi yang mendalam melalui makan bersama.

Hal ini mengingatkan akan tradisi luhur Indonesia, ucapan syukur dengan makan bersama. Di Jawa dikenal dengan bancakan, di Bali dikenal dengan megibung, di daerah lainnya memiliki nama yang berbeda-beda, tetapi maknanya sama, ucapan syukur dengan makan bersama.

Perjumpaan di tengah meja makan memiliki makna mendalam. Di dalamnya, unsur serta aktivitas makan, doa dan cinta menjadi senyawa utama yang membingkai kebahagiaan seseorang. Makan diawali dan diakhiri dengan doa bersama, sebagai ucapan syukur bersama atas kehidupan, mengikat tali persaudaraan dan cinta antar-anak bangsa, sesama umat manusia.

Baca juga:  Presiden Makan Siang dengan Tiga Bakal Capres

Secuil drama yang menggambarkan hal itu diceritakan dalam buku Elizabeth Gilberth dan difilmkan dengan megabintang Hollywood, Julia Roberts, “Eat, Love and Pray” (2010). Seperti diketahui, film ini menceritakan kisah nyata Elizabeth Gilberth dalam memoarnya, menggambarkan kerinduan umat manusia modern
akan pencarian kebahagiaan sejati.

Gambaran kemapanan hidup Gilbert yang ditandai dengan kehadiran suami yang setia, kekayaan, serta karier yang sukses, ternyata bukanlah titik akhir pencarian hidupnya. Dalam persimpangan, ia mengubah jalan hidupnya itu secara drastis.

Ia melakukan perjalanan untuk mencari kesejatian hidup itu. Ia menemukan nikmatnya makan di Italia, kekuatan doa di India, serta kedamaian dan keseimbangan cinta di Bali.

Aktivitas makan, mata rantai dalam industri makanan minuman, bisnis pariwisata dan perjalanan, semakin mengarah pada paradigma yang memprioritaskan kualitas. Bahan makanan, proses mengolah dan menghadirkan makanan, dan pariwisata itu sendiri, dituntut untuk semakin relevan dengan standar yang
berkualitas.

Baca juga:  Kesadaran Mengawal Bahasa Bali

‘Wajah baru’ pariwisata yang berkualitas kerap disederhanakan sebagai bentuk pariwisata Indonesia
yang ‘naik kelas’ dari 3S lama (sea, sun, sand) menjadi 3S baru (sustainability, spirituality, serenity).

Jika ada pepatah yang mengatakan ‘tidak ada makan siang gratis’, maka ketika didasari dengan rasa tulus untuk ‘berbagi’ dan berdialog dari hati ke hati, niscaya makan siang selalu berkesan, sekalipun ada kesepakatan transaksional setelahnya. Kepemimpinan, integritas, kerja keras, team work, cinta, kesadaran diri dan sikap-sikap luhur lainnya, mencuat kembali menjadi secercah harapan pasca pertemuan para elit parpol pada makan siang
bersama Presiden.

Secara strategis, ‘pertemuan sederhana’ – setidaknya bila dibandingkan rapat-rapat kerja parpol yang bermassa ribuan- namun memiliki substansi yang teramat penting bagi perjalanan bangsa ini, menjadi refleksi kesanggupan Indonesia menjalankan conflict management dan conflict resolution antar-anak bangsa pada tahun politik yang akan datang.

Indonesia terdiri dari lebih 300 suku bangsa yang memiliki beragam kekayaan, termasuk kekayaan kuliner. Ragam kuliner ini menjadi daya saing turisme, karenanya pengelolaan kuliner Nusantara perlu dilakukan secara optimal.

Baca juga:  Yang Terbatas Versus Tanpa Batas

Secara nasional, kuliner semakin tumbuh sebagai industri rakyat yang ramah dan terbuka bagi siapa saja untuk menjadi pelaku usaha dan menggapai kesejahteraan di dalamnya. Lobi tingkat tinggi yang biasa dilakukan dengan main golf bersama di pagi hari, dan kini dihadirkan dalam rupa lain di siang hari dengan makan bersama, pertama-tama digerakkan oleh dorongan hati untuk memberikan value, ber￾nteraksi, yang membentuk sikap hidup sebagai
insan yang menghargai martabat orang lain.

Perjumpaan makan siang bersama memberikan energi positif bagi tersiarnya kabar positif Indonesia kepada dunia dan menggairahkan kembali bisnis food and beverage yang terpuruk diterpa pandemi Covid-19. Pamor Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung persatuan dan persaudaraan, merambah luas dan menyebar merata mulai elite hingga masyarakat. Kita mensyukuri politik santun yang diteladankan para elite melalui makan bersama.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra

BAGIKAN