Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pertemuan ke-7 Forum Kebijakan Global Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform for Disaster Risk Reduction/GPDRR) yang berlangsung pada 23-28 Mei 2022 di Nusa Dua Bali, dengan dihadiri 8.050 delegasi (4.821 hadir fisik, 3.229 hadir melalui platform online) dari 193 negara. Mereka menyerukan pentingnya resiliensi dalam pengurangan risiko bencana.

Jika ingin tangguh menghadapi bencana maka kuncinya ada pada ketahanan warga. Masyarakat menjadi faktor kunci untuk mewujudkan ketahanan berkelanjutan dalam menghadapi ancaman dan mengurangi risiko bencana. Penguatan masyarakat menjadi penting dalam mewujudkan ketahanan terhadap bencana secara berkelanjutan.

Sekretaris Jenderal Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent/IFRC) Jagan Chapagain, menyatakan bahwa komunitas lokal atau masyarakat asli lebih mengetahui potensi ancaman bencana dan risiko bencana di wilayah mereka masing-masing.

Baca juga:  Tinggal di Kawasan Batur, Warga Harus Pahami Risiko Bahaya Geologinya

Indonesia sendiri berkomitmen dalam penguatan data kebencanaan, peningkatan kapasitas nasional dalam manajemen risiko bencana, hingga penyiapan mekanisme pendanaan khusus bencana, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana/Pooling Fund Bencana.

Sementara krama Bali memiliki tradisi Nyepi yang bisa menjadi contoh harmoni antara ritual keagamaan dengan filosofi kehidupan Tri Hita Karana. Alam dirawat dengan sangat baik dengan penuh cinta, sebagai wujud kesadaran akan kesatuan kosmologi kehidupan. Sekaligus wujud menjaga keseimbangan hubungan antara manusia, Tuhan, dengan alam lingkungan.

Krama Bali cukup bijak dalam menata ruang fisik lingkungan huniannya. Krama Bali menciptakan telajakan sebagai kawasan ekologis perkotaan. Sedang arsitektur rumah tradisional Bali juga sangat
ramah terhadap lingkungan alam. Hampir 70 persen area rumah merupakan lahan terbuka, hanya sekitar 30 persen yang merupakan ruang terbangun untuk hunian.

Baca juga:  Peluang Wisata Kesehatan di Bali

Sementara tata ruang kota/wilayahnya selalu dalam bingkai mitologi Hindu. Terwujud pada adanya kawasan parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Serta tersusun dalam susunan jasad/angga, yang kemudian memberikan turunan tata nilai ruang; secara vertikal disebut Tri Angga dan secara horizontal disebut tatanan Tri Mandala.

Arsitektur tradisional Bali lebih merupakan tatanan ruang dan bangunan yang berorientasi pada upaya menata keseimbangan kehidupan manusia dengan lingkungan alam kehidupan kesehariannya. Karakter ini lebih sering berbenturan dengan kaidah arsitektur modern yang lebih banyak berorientasi pada ruang fisik dan bangunan nonalami.

Jejak sejarah arsitektur tradisional Bali di kota maupun perdesaan Bali merupakan kawasan tradisi local wisdom krama Bali dengan potensi ekonomi yang harus tetap kita lestarikan melalui tindakan konservasi fisik ataupun sosial yang bersifat komprehensif. Merawat arsitektur tradisional Bali
sekaligus merupakan upaya pengurangan risiko bencana.

Baca juga:  Politik Kasih Sayang

Menjaga keseimbangan lingkungan alam dan kehidupan manusia menjadi kata kunci dalam meminimalkan terjadinya dampak bencana. Bagi krama Bali yang memegang filosofi Tri Hita Karana tentu hal itu bukan sesuatu yang asing. Krama Bali cukup bijak dalam menata ruang fisik lingkungan huniannya melalui arsitektur tradisional Bali.

Pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) dapat dilakukan dengan melakukan penataan ruang wilayah secara benar sesuai kondisi yang ada pada
suatu kawasan, serta menerapkannya secara konsekuen dan konsisten. Karena acap kali terjadi implementasi tata ruang wilayah yang tidak sesuai, akibat tuntutan ekonomi pengguna lahan.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Stud￾ies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *