Warga Desa Adat Tenganan melakukan perang pandan atau makere-kere. (BP/Istimewa)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem memiliki berbagai tradisi yang sarat akan arti dan makna. Yang paling terkenal dari Desa Bali Aga tersebut adalah perang pandan atau makere-kere yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali tepat di sasih kelima kalender Tenganan.

Meskipun dalam perang pandan yang dilaksanakan pada Kamis (23/6), hingga mengeluarkan darah, tidak ada krama yang mengikuti prosesi tersebut sampai dendam ataupun marah. Semua yang terlibat dalam prosesi sebut terlihat sangat menikmati dalam melestarikan tradisi yang turun-temurun.

Anak kecil, muda, maupun tua sangat antusias melakukan perang pandan tersebut. Sebelum perang pandan itu dimulai, para dehe pagi-pagi lebih dulu naik ke puncak bukit dengan membawa pratima. Di sana terdapat tiga palinggih pura, yakni Pura Kubulanglang, Pura Nagasulung, dan Pura Tegalgimbal.

Baca juga:  Terkendala Komputer, SMKN 1 Amlapura Belum Bisa Laksanakan UNBK

Ketiganya, Ganta Wayah di Pura Kubulanglang, Ganta
Nengah di Pura Nagasulung, dan Ganta Nyoman di
Pura Tegalgimbal, melakukan sangkep dengan menggunakan sesajen dari kuwud. Salah satu Klian Desa Tenganan Pegringsingan, I Putu Yudiana, tradisi ini dilaksanakan selama empat hari, mulai dari Bale Agung, Patemu Kelod, Patemu Kaje, dan Patemu Tengah. Tetapi untuk yang di Bale Agung
dan Patemu Kelod itu hanyalah simbolis dan ritual tidak saling berperang.

Baca juga:  Aktivitas Gunung Agung, Warga Dukuh dan Ban Kembali Rasakan Getaran

Sedangkan yang perang yang menggunakan pandan sesungguhnya tersaji di Patemu Kaje dan Patemu Tengah. “Perang pandan ini sejatinya dilakukan untuk menunjukkan rasa bhakti krama setempat kepada Dewa Indra sebagai dewa perang, yang sekaligus sebagai sungsungan krama setempat. Karena menurut cerita pendahulu di sana, krama Tenganan sendiri merupakan sebagai prajurit, maka dari itu tentunya sering melakukan peperangan,” terangnya.

Yudiana menambahkan, dalam perang pandan, para
pemain diharapkan tidak boleh mengenai bagian di
atas leher. Karena itu merupakan bagian vital. Tetapi,
apabila itu dikenai secara tidak sengaja, para pemain
diharapkan untuk maklum. “Tidak ada dendam sesama kami sebagai pemain perang pandan,” katanya.

Baca juga:  Desa Adat Baluk Gelar Ngenteg Linggih Pura Dalem Setelah 30 Tahun

Dia menjelaskan, untuk pandan yang digunakan
dalam perang tersebut merupakan pandan yang dicari
oleh truna setempat. Digunakannya pandan sebagai
sarana latihan perang, karena tidak mungkin berlatih dengan menggunakan senjata sesungguhnya.

Di samping itu, pandan juga sebagai simbol penjaga diri. “Karena ini bentuknya latihan, digunakanlah pandan. Pandan itu sebagai simbol penjagaan diri,
biar rumah tidak dimasuki,” pungkasnya. (Eka Parananda/balipost)

BAGIKAN