DENPASAR, BALIPOST.com – Sidang praperadilan kasus penetapan tersangka dalam perkara korupsi mengabulkan permohonan pemohon, I Wayan Seraman. Kajari Denpasar langsung keok.
Hakim praperadilan, IGN Putra Atmaja, Senin (13/11) petang mengabulkan sebagian permohonan pemohon, I Wayan Seraman. Hakim setelah membacakan sejumlah pertimbangan, baik dari ahli pemohon maupun termohon, menyimpulkan bahwa penetapan tersangka Seraman yang dijadikan tersangka Senderan Tukad Mati tidak sah.
Selain status tersangka tidak sah, perpanjangan penahanan Seraman yang dilakukan penyidik kejaksaan juga tidak sah. Hakim menguraikan sejumlah pertimbagan dari ahli Prof. Usfunan (ahli pidana), ahli hukum Prof. Syukri dan ahli lainnya, serta pertimbangan putusan MK.
Sehingga, selain penetapan dan penahanan tersangka tidak sah, hakim juga minta Seraman yang mantan Kasi Pengairan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Badung ini juga dikeluarkan dari tahanan.
Kuasa hukum pemohon Simon Nahak mengatakan bahwa putusan hakim tersebut juga seharusnya berlaku untuk dua tersangka lainnya. “Saya upayakan seperti itu. Kan satunya lagi (Gung Dalem) juga sedang dalam proses praperadilan,” tandas Simon Nahak.
Untuk praperadilan Gung Dalem bahkan lebih menyakinkan karena dia tidak ditahan, di samping para ahli hukum berpendapat sama dengan apa yang menimpa Seraman. Yakni menetapkan tersangka tidak sah karena tidak ada perhitungan kerugian keuangan negara dari lembaga berwenang.
Atas putusan hakim, penonton sidang pun bersorak bahagia karena mereka meyakini bahwa tersangka tidaklah bersalah. Simon Nahak mengatakan, penegakkan hukum selama ini selalu mengedepankan delik formil. Padahal delik formil sudah bergeser ke delik materiil.
“Artinya bahwa kalau mau menghukum seseorang dengan tindak pidana korupsi, harus buktikan terlebih dahulu harus ada kerugian negara. Ketika tidak bisa dipenuhi, jelas tidak bisa memenuhi delik formil dan materiil,” tandas Simon Nahak.
Dulu, kata dia masih bisa menduga soal kerugian negara. Namun saat ini, berdasarkan putusan MK sudah tidak boleh. “Kalau sekarang, menentukan seseorang sebagai tersangka dalam pidana korupsi itu, harus ada kerugian negara yang nyata. Dan yang berwenang mengitung kerugian negara adalah BPK sesuai dengan amat Undang-undang,” tandas pria yang juga dosen pascasarjana hukum itu. (miasa/balipost)