DENPASAR, BALIPOST.com – Saksi kunci dalam kasus pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan, dengan terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja, Kamis (21/7) menghadirkan saksi kunci. Mereka adalah Yaya Purnomo (salah satu kasi di Dirjen Perimbangan, Kementerian Keuangan RI), Rifa Surya (Kasi Dana Alokasi Khusus Non Fisik, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan periode Januari-Agustus 2018), Prof. Bahrullah Akbar (mantan Wakil BPK RI), I Wayan Adnyana dan I Putu Eka Putra.
Dalam sidang yang dipimpin hakim I Nyoman Wiguna, saksi kunci dari pejabat Kementerian Keuangan mengakui meminta fee dengan istilah “dana adat istiadat” senilai 2,5 persen. Angka 2,5 persen itu dari dana DID yang didapat pemohon.
Dalam kesaksian Yaya dan Rifa, terkuak pula bahwa sebelum dana cair, untuk mengawal dana DID pemohon (Pemkab Tabanan) melalui Dewa Wiratmaja diminta menyerahkan uang muka tanda jadi, yang dibayar bertahap yakni masing-masing Rp300 juta (dua kali). Setelah itu Dewa Wiratmaja membawakan Yaya Purnomo uang dalam bentuk Dollar Amerika yakni sebesar USD 55.300, yang diserahkan di lantai 16 apartemen saksi di Jakarta Barat.
Uang dollar diterima Yaya karena Rifa saat itu sedang umroh. Soal angka Rp300 juta, itu hasil tawar menawar antara Wiratmaja dengan saksi.
Awalnya saksi minta uang muka Rp500 juta. Namun ditawar, dan angka itu disampaikan Wiratmaja ke Eka Wiryastuti. Dari Rp500 juta, disepakati Rp l300 juta sebagai uang muka.
Jaksa KPK awalnya menanyakan di mana Yaya kenal dengan Dewa Wiratmaja. Dari pertanyaan itulah muncul nama Prof. Bahrullah Akbar, karena Wakil BPK RI itu adalah dosen promotor saat saksi Yaya mencari S3.
Ia menyampaikan ke Yaya bahwa ada orang Tabanan nanti akan menghubunginya. Bahrullah menyampaikan mohon dibantu. Benar, akhirnya Wiratmaja menghubungi Yaya, yang menyampaikan bahwa dia adalah perwakilan Bupati Eka Wiryastuti.
Apa hubungan antara Bahrullah dengan Tabanan? tanya jaksa. “Tidak tahu, yang disebut hanya mohon dibantu,” ucap Yaya.
Dan Wiratmaja pun meminta pada saksi supaya dibantu. “Beliau (Wiratmaja) bilang dari Tabanan, bahwa dia itunya (kenalannnya) Pak Prof,” urai Yaya. “Kok bisa Prof. Bahrulah kenal Tabanan,” tanya jaksa. “Pak Prof pernah jadi narasumber di Tabanan,” sebutnya.
Saat berkomunikasi, Wiratmaja mengaku perwakilan bupati Tabanan dan diutus Bu Eka.
Masih dalam sidang di Tipikor, Jaksa KPK menanyakan ada DAU, DAK, DID, ada dana adat istiadat. “Dana adat istiadat ini dana apa,” tanya jaksa.
Saksi menjawab itu hanya guyonannya saja. “Kalau ada memberi ya alhamdulilah,” ucap Yaya.
Lanjut dia, dana adat istiadat itu kemudian dibagi tiga, yakni Yaya, Rifa dan Tim. Untuk selanjutnya dana adat istiadat itu dipahami sebagai uang fee untuk mengawal dana DID.
Khusus Tabanan, dari hitungan Rifa, sesuai simulasi, Tabanan dapat Rp 46 miliar DID. Saat dikejar dari mana angka Rp 46 itu, saksi membuka bocoran dan data di Kemenkeu bahwa Tabanan nilainya bagus. Nilainya tinggi. Salah satu syarat adalah WTP.
“Akhirnya dana DID cair Rp 51 miliar. Bocorannya Rp46 miliar, malah cairnya lebih menjadi Rp51 miliar. Apakah ada pengaruh dana adat istiadat,” tanya jaksa.
Saksi mengatakan tidak.
Kuasa hukum terdakwa Eka, Wija Kusuma sempat mangkel dan menyatakan bahwa akibat permintaan dana adat istiadat itu ada korban, yakni Eka Wiryastuti. “Padahal saksi (Rifa) tidak ada kewenangan dalam DID. Rusak negara ini,” tandas Wija Kusuma.
Lanjut kuasa hukum lainnya, bahwa saksi tidak dapat mempengaruhi besarannya DID. Angka Rp 46 miliar merupakan asumsi saksi. “Jadi, saksi menjual informasi di power point saja,” sebut kuasa hukum terdakwa. (Miasa/balipost)