Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Misi perdamaian Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan perjalanan bersejarah yang tidak hanya bagi perjalanan kepemimpinan periode kedua, tetapi juga sebagai wujud sumbangsih dan dukungan kemanusiaan yang konkret bangsa Indonesia bagi warga dunia yang dilanda peperangan. Sekalipun perjalanan ke daerah perang dinilai berbahaya, namun misi mulia ini telah dipersiapkan dengan matang oleh aparat keamanan Indonesia dan negara-negara tujuan, mengalirkan dukungan akan berhentinya peperangan.

Perjumpaan antarmanusia yang berbeda latarbelakang budaya dan negara merupakan intisari dari pariwisata. Apalagi perjumpaan dalam konteks untuk menyapa, memberi dukungan, menguatkan, berbagi empati dan perhatian mendalam, merupakan keluhuran dalam interaksi kemanusiaan yang implisit pada perjalanan untuk bepergian. Transformasi pariwisata telah bertumbuh dari sekadar menikmati keindahan alam (sea, sun, sand) menjadi perjalanan untuk mencari pemaknaan dan kedalaman hidup. Fenomena Elizabeth Gilberth dalam novel yang difilmkan berjudul Eat, Love and Pray, merupakan cerminan kerinduan umat manusia era modern akan pemaknaan hidup yang diupayakan dan ditemukan melalui traveling.

Bepergian juga tidak sebatas untuk mencari dan memenuhi kesenangan dan ego terbatas pada individu, tetapi sebagai apresiasi terhadap praktik konservasi alam dan kelestarian budaya. Pemilihan destinasi wisata tidak melulu mainstream destination, tetapi pada destinasi-destinasi baru yang dianggap seperti surga tersembunyi. Benang merah dari perjalanan, people mobility dan traveling ini adalah memuliakan kehidupan, memperluas cakrawala pengetahuan dari pengalaman berpetualang ke berbagai penjuru Nusantara dan dunia.

Baca juga:  Budget Minim Tapi Ingin Traveling? Jangan Galau, Ini Tipsnya

Sejarah perjalanan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia menumbuhkan kesadaran akan pentingnya toleransi dan persatuan di antara umat manusia yang harus terus diupayakan dan meresap dalam diri traveler masa kini. Perspektif berwisata sambil berbagi (charity tourism) dapat dikenakan pada niatan pelaku perjalanan untuk mengemban misi kemanusiaan seperti yang dilakukan Presiden Jokowi, meski berbeda konteks dan obyek yang dituju.

Lewat bencana alam, misalnya, kepariwisataan sebetulnya memiliki ruang wisata sambil berbagi. Wisata sambil berbagi juga mulai tumbuh terutama di daerah-daerah yang membutuhkan perhatian khusus, sentuhan sosial, kunjungan dan pengenalan yang mendalam. Di bagian lain, wisata di destinasi-destinasi yang lazim dikunjungi dan populer di mata wisatawan, perlu diarahkan ke ranah sosial. Geliat kepariwisataan di destinasi-destinasi populer seperti Bali, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Jakarta, Bandung, Lombok, dan sebagainya, patut dikembangkan dalam konteks charity tourism.

Praktik perjalanan wisata untuk berbagi dan bermisi kemanusiaan tidak semata-mata pengembangan komoditas tourisme yang menjanjikan dan berpotensi merengkuh devisa negara lewat kedatangan wisatawan mancanegara, tetapi lebih sebagai medan riil mengupayakan tercapainya tujuan pariwisata sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan. Disebutkan di sana, pariwisata memiliki 10 tujuan sebagai berikut, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa. Karena itu, bepergian untuk misi kemanusiaan menjadi mediator yang mendekatkan cita-cita kepariwisataan menjadi kenyataan.

Baca juga:  Dari Asian Games Menuju Ajang Olimpiade

Di Aceh misalnya, pengembangan charity tourism melalui Aceh Tourism Board selama ini telah eksis dan berperan penting dalam melakukan rebranding, positioning dan promosi destinasi. Ada kecenderungan yang besar pada masa kini dan era mendatang, sensitivitas wisatawan mancanegara terhadap isu-isu budaya, lingkungan hidup, ekonomi kerakyatan dan kemiskinan di suatu daerah wisata.

Dalam sebuah pengalaman membawa rombongan tur ke agrowisata di Jawa Timur, salah satu tour operator spesialis inbound tour menceritakan, wisatawan Eropa dapat diedukasi dan berminat untuk mengunjungi destinasi wisata agro yang relatif baru. Dengan kata lain, destinasi tersebut bukan mainstream agrowisata yang telah populer. Tour guide menjelaskan kepada rombongan yang dibawanya bahwa agrowisata kebun apel yang akan dikunjungi adalah kebun apel milik petani dan dikelola langsung oleh pemiliknya. Lebih lanjut tour guide menjelaskan uang yang dibelanjakan wisatawan untuk membeli apel dan suvenir khas daerah itu langsung masuk ke kantong petani. Mendengar penjelasan itu, rombongan wisatawan asal Eropa langsung antusias.

Baca juga:  Hobi Traveling? Ini Tips Menabung

Lebih-lebih, ketika wisatawan diajak bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat sekitar agro yang tergolong miskin, meskipun telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan, nurani kemanusiaan mereka semakin tersentuh. Mungkin, pengalaman berwisata (experiential tourism) semacam inilah yang mereka cari selama ini. Empati yang digugah dan disentuh melalui kesadaran berwisata sekaligus berbagi (charity) jelas tampak pada pasar wisatawan mancanegara, terutama pada niche market kalangan adventurous, mature, well educated, termasuk kalangan usia milenial.

Hikmah penting dari pengalaman itu adalah, hakekat penting perjalanan dan kegiatan bepergian sebagai sarana untuk menumbuhkan kesalingpengertian antarbangsa selama ini mungkin kurang mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan pariwisata yang semata-mata mengumbar kesenangan (leisure) dan membelanjakan uang tanpa sensitivitas sosial yang tinggi serta tanpa mengindahkan kepentingan kemanusiaan. Dibutuhkan keberanian serta kalkulasi yang cermat, niscaya nurani kemanusiaan pasar wisatawan di dalan dan luar negeri mudah tersentuh, apresiatif dan berkesan mendalam. Perjalanan misi perdamaian Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia beberapa waktu lalu menjadi teladan keluhuruan nilai bepergian untuk membagikan dukungan dan perhatian kepada sesama umat manusia.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *