Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Tahap Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah bergulir. Kontestasi politik selalu dihinggapi penyakit yang membawa cacat demokrasi.

Cacat itu terdiri atas cacat prosedural, berupa karut marut penyelenggaraan, hingga cacat substansial berupa tingkah polah kontestan yang tidak berintegritas. Cacat yang paling berbahaya dan dikhawatirkan masih akan terjadi pada Pemilu 2024 adalah amoralitas politik.

Ruang kompetisi semakin sempit dan ketat. Antarkandidat akan berjuang keras, saling sikut, bahkan menghalalkan segala cara demi kemenangannya.

Moralitas akan menjadi pemandu kontestan demi mewujudkan Pemilu 2024 yang berkualitas. Permasalahan bangsa menurut Al-Qardhawi (2002) pada dasarnya merupakan persoalan moralitas. Solusi efektifnya adalah revitalisasi nilai-nilai moral. Moralitas dan fatsun politik Indonesia

dinilai rendah dalam berdemokrasi (Nahwi, 2014).
Amoralitas politik masih menghantui jalannya
demokrasi. Banyak praktik politik amoral yang
mesti diwaspadai.

Yang pertama adalah politik uang. Politik uang dalam pemilu menjadi kunci yang berpotensi membuka pintu praktik korupsi. Pemilu kerap dijalani dengan logika bisnis. Uang kampanye adalah modal yang mesti kembali dan menjadi laba dalam masa jabatan.

Baca juga:  Paradigma Baru Pembelajaran

Politik uang yang tidak logis jika ditilik dalam kalkulasi gaji, sangat rentan menimbulkan malapraktik politik seperti korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya. Setiap jelang pelaksanaan pilkada, sering mencuat kasus tindak pidana korupsi.

Belajar pada Pilkada 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu melakukan tangap tangan terhadap enam kepala daerah yang jakan bertarung
dalam kontestasi demokrasi. Yakni Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Ngan￾mjuk Taufiqurrahman, Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, Bupati Jombang Nyono Suharli,
dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.

Transparency Internasional (TI) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi tahun 2018 nilainya 38. Nilai tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-89. Indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tapi peringkatnya turun. Sedangkan pada tahun 2017, nilainya 37 dengan peringkat 96.

Baca juga:  Hary Tanoe Sebut 3 Alasan Kerja Sama dengan PDIP

Kedua adalah politik pencitraan. Realitas politik di Indonesia, menurut Yasraf Piliang (2005) didominasi rekayasa seakan-akan. Tradisi politik citra booming semenjak Era Reformasi yang memberikan ruang
pers sebebas-bebasnya.

Ketiga adalah konflik politik. Gesekan horisontal
yang berpotensi konflik menjadi tan￾tangan yang perlu diantisipasi. KPU memprediksi potensi konflik Pilkada 2020 meningkat dibanding tahun 2018.

Polri telah telah memetakan 171 titik rawan konflik terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dan
Pemilu 2019.

Keempat adalah perselingkuhan politik. Perselingkuhan politik yaitu perilaku menjijikkan
antara kontestan dengan penyelenggara pemilu,
atau kontestan dengan pengusaha. Kontestan
dengan penyelenggara berselingkuh untuk saling
jual beli pengaruh demi manipulasi proses pemilu.

Kontestan dan pengusaha berselingkuh dalam
hal modal politik dengan iming-iming dukungan
politik terhadap investasinya.

Langkah pertama yang diambil adalah dengan
pendekatan spiritual; spiritualisme setiap manusia. Spiritualisme adalah sisi fundamental dan oase moralitas manusia. Aspek ini diharapkan dapat menyentuh sisi terdalam pelaku politik amoral untuk sadar dan memperbaiki dirinya.

Baca juga:  Pemilu 2024, Gianyar Usulkan Pemekaran Dapil dan Penambahan Jumlah Kursi DPRD

Selama ini spiritual hanya di permukaan bahkan dijual kontestan demi suara. Spiritualisme aplikatif mesti ditegakkan dalam menjunjung moralitas politik.

Kedua dengan penegakan hukum. Hukum dapat menjadi efek jera atas praktik politik amoral sekaligus melanggar peraturan. Kuncinya adalah penegakan yang berkeadilan. Hukum mesti tidak pandang bulu dan tidak tebang pilih.

Pelanggaran dapat langsung dihakimi publik secara sosial, hingga pencabutan dukungan elektoral. Pelanggaran berat dapat dilaporkan ke Bawaslu.

Kuncinya publik mesti dididik agar melek politik. Rakyat eindu hadirnya politik bermoral demi
menghasilkan kepemimpinan berkualitas. Kontestan penting mengambil teladan dari Muhammad SAW melalui politik profetik.

Kepemimpinan profetik mengajarkan empat sifat, yaitu jujur atau benar (shiddiq), bisa dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh), dan cerdas (fathonah). Calon kepala daerah penting meneladaninya sebagai modal utama memenangkan Pemilu 2024.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *