Ida Bagus Putu Alit. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J menarik perhatian publik karena melibatkan perwira tinggi kepolisian, Irjen Ferdy Sambo. Bahkan autopsi Brigadir J dilakukan dua kali untuk menguak pelaku dari pembunuhan berencana itu.

Dalam autopsi kedua, dr. Ida Bagus Putu Alit DFM, SpF, menjadi satu-satunya dokter forensik asal Bali yang masuk tim. Ia pun membagikan pengalamannya, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, Kamis (1/9).

“Untuk tim forensik independen kasus Brigadir J itu memang ada surat permintaan resmi dari Mabes Polri ke Kolegium PDFI (Persatuan Dokter Forensik Indonesia). Nah, dari kolegium itulah menunjuk saya sebagai salah satu anggotanya,” kata dr. Alit yang merupakan dokter forensik RSUP Prof Ngoerah.

Dokter usia 52 tahun itu mengaku turut serta atas dasar kewajiban bahwa secara hukum ada kewenangan dari penyidik untuk meminta dokter forensik melakukan pemeriksaan. “Ada kewajiban hukum bagi profesi dokter, bahwa dokter akan mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan. Bukan semata-mata untuk kepentingan pasien, tapi untuk peradilan karena peradilan memerlukan suatu bukti-bukti yang tidak terbantahkan,” kata dr. Alit.

Baca juga:  Tingkatkan Kualitas Layanan, SDM Kesehatan Indonesia Dilatih Singapura

Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu mengaku, salah satu alasan PDFI pada Juli 2022 lalu menunjuknya karena posisinya yang masuk sebagai akademisi sehingga imparsial dan bebas dan juga karena kepercayaan dan pengalaman. “Jadi itu kembali ke kewenangan PDFI yang memilih saya, bahwa dari PDFI yang mempercayai kita disini. Karena banyak kasus yang kita dapatkan, bukan kasus bersifat nasional saja tapi juga ada beberapa kasus Internasional. Dan pertimbangannya yang jelas melibatkan akademisi,” ujar dia.

Baca juga:  Pegawai Pemprov Bali Terpapar COVID-19 Harus Isolasi Terpusat, Agar Tak Beratkan APBD Konsumsi Ditanggung Sendiri

Terkait pengalamannya saat melakukan autopsi Brigadir J, pada Rabu (27/8) lalu, ia menilai bahwa tak ada yang membedakan ini dengan autopsi atau pemeriksaan lainnya. Menurutnya tugas tersebut merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari, namun yang spesifik adalah kasus kematian Brigadir J, lantaran menyita perhatian masyarakat.

“Tidak ada perasaan tegang. Kita prinsipnya dipercaya kompetensinya, kita pergunakan kompetensi. Kasus ini sama, yang membedakan skala informasi yang ditemukan oleh masyarakat karena masyarakat masih banyak bertanya-tanya,” kata dokter kelahiran Karangasem, Bali itu.

Alit menceritakan bahwa saat proses autopsi jenazah Brigadir J, tim forensik berjumlah lima dokter dan dua teknisi dengan dirinya satu-satunya dokter yang dipanggil dari Bali. “Autopsi hanya memakan waktu satu hari atau beberapa jam saja, hanya saja pemeriksaan penunjang yang membutuhkan waktu lama, sebelumnya kita menyampaikan membutuhkan waktu empat sampai delapan pekan. Nah, maksudnya agar mempunyai waktu untuk meneliti agar sampai standar pembuktiannya tidak terbantahkan,” ujar dr. Alit.

Baca juga:  Pagu Dana Desa untuk Bali di 2021 Alami Peningkatan, Kabupaten Ini Terbanyak

Dokter forensik tersebut menuturkan bahwa sebelumnya ia telah biasa terhadap pemeriksaan serupa. Ditambah Bali kerap mendapat kasus lebih spesifik yang gaungnya sampai terdengar ke internasional.

“Kasus yang saya ingat kasus besar, dalam artian korbannya banyak seperti bom. Atau kasus yang sensitif seperti Angeline. Dan kasus yang lama terungkap jadi kasus beku masih tetap disimpan sampai sekarang belum terungkap,” kata dr. Alit memberi contoh.

Alit juga mengatakan bahwa hasil pekerjaannya sepenuhnya bersifat sains. Sehingga tak ada kejadian mistis yang dialaminya setelah melakukan autopsi Brigadir J maupun pasien yang lain. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *