Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Dunia pendidikan dan intelektual kembali tercoreng. Tidak tanggung-tanggung, oknumnya adalah akademisi, intelektual sekaligus penjabat kampus di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebagaimana diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Prof Karomani, Rektor Unila dan enam orang terkait lainnya pada Sabtu (20/8).

OTT dilakukan di dua tempat yakni di Jawa Barat dan Lampung. Penangkapan Profesor sekaligus Rektor Unila sangat mengagetkan publik, khususnya insan
akademika. Kasusnya pun sangat memalukan, yaitu dugaan suap terkait penerimaan mahasiswa jalur mandiri.

Hal itu kembali memperpanjang rentetan keterlibatan akademisi yang tersandung kasus korupsi. Karomani menjadi Profesor kesekian yang bersiap menyandang gelar koruptor.

Asas praduga tak bersalah mesti dijunjung tinggi, tetapi kasus ini menguatkan dunia pendidikan untuk segera melakukan renungan, perbaikan, dan pencegahan.

Beberapa guru besar yang sebelumnya sudah dijerat KPK antara lain Rudi Rubiandini (ITB), Rahardi Ramelan (ITS Surabaya), Nazaruddin Syamsuddin (UI), Miranda Goeltom (UI), Rokhmin Dahuri (IPB), Burhanuddin Abdullah (UI), Abdus Salam (IAIN Syekh Nurjati Cirebon), Tafsir Nurchamid (UI), dan lainnya.

Baca juga:  Terkait Perkara, M Syahrial Pernah Komunikasi dengan Lili Pintauli Siregar

Dunia intelektual adalah sakral di mata publik. Akademisi dinisbatkan suci dan harus steril dari isu korupsi.

Nyatanya akademisi juga manusia. Korupsi menggoda siapa saja tanpa mengenal kasta. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan kasus korupsi di bidangbpendidikan Indonesia mencapai 240 kasus sepanjang tahun 2016-2021. Kasus korupsi tersebut diprediksi merugikan negara hingga Rp1,6 triliun.

Sebagian besar kasus korupsi di dunia pendidikan
berupa penyediaan barang dan jasa. Korupsi oleh akademisi adalah ironi. Harapan publik telah membebani dunia pendidikan agar menjadi garda terdepan dalam pencegahan melalui pendidikan antikorupsi.

Fenomena di atas mesti disikapi bijaksana dan proporsional tanpa melakukan generalisasi. Bagaimanapun dunia pendidikan masih layak menjadi lokomotif pencegahan korupsi. Pencegahan korupsi berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 sejatinya menjadi tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Realitanya kinerja KPK hingga kini masih dominan pada penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sembari mengkritisi dan mendorong KPK, dunia
pendidikan diharapkan mengambil peran di garda terdepan dalam pendidikan antikorupsi yang komprehensif dan sistematis.

Baca juga:  Sidang Dakwaan Korupsi Aci dan Sesajen Ditunda

Refleksi

Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, sepahit apa pun peristiwa itu. Hikmah menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah harta manusia yang hilang, barang siapa menemukannya, ia paling berhak
menggunakannya. Dunia pendidikan semestinya
segera melakukan refleksi dan berbenah dalam
mengambil hikmah atas ujian yang menimpa
insan-insan terbaiknya.

Beberapa langkah dapat ditempuh guna merehabilitasi nama baik dunia pendidikan. Pertama,
gelar profesor hendaknya hanya disematkan ketika penyandangnya beraktivitas dalam kegiatan akademik. Guru besar adalah kehormatan akademik bukan gelar berijazah.

Kedua, akademisi harus melek politik, hukum, dan administrasi negara. Hal ini untuk menyiapkan diri ketika dibebani amanah sebagai pejabat publik.

Ketiga, pendidikan karakter antikorupsi mesti terus diperkuat dalam dunia akademik. Pendidikan antikorupsi tidak hanya ditujukan bagi siswa atau mahasiswa, tetapi pertama kali justru harus menyentuh pendidiknya.

Baca juga:  Rekanan Korupsi Rumbing Dihukum Berbeda

Spiritualisme dan budi pekerti hendaknya menjadi pondasi yang kokoh dalam pendidikan antikorupsi.
Giddens (2001) mengisyaratkan bahwa peradaban modern menunjukkan kondisi bahaya yang justru berasal dari internal, lebih dahsyat dibandingkan dari pengaruh eksternal.

Menurutnya, peradaban materialisme tidak dapat dipertahankan lagi dan akan lahir pandangan baru
sebagai dasar peradaban zaman, yaitu agama dan
filsafat kehidupan kontemporer. Keempat, sanksi
etik yang mendidik dan tegas harus diterapkan
kepada kalangan akademisi yang terbukti korupsi.

Keseriusan dan komitmen tinggi semua insan
pendidikan menjadi kunci rehabilitasi peran sentralnya dalam pemberantasan korupsi. Autokritiknharus terus dibangun melalui berbagai kasus yang membelit civitasnya.

Semua ini diharapkan membawa buah manis ke depan dimana tidak akan terdengar lagi gelar koruptor disandingkan pada sosok profesor. Pendidikan juga diharapkan dapat memberikan korelasi positif bagi spirit antikorupsi.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *