Prof. Dr. Sofian Effendi. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kedaulatan rakyat kini terabaikan. Hak-hak politik rakyat dalam berdemokrasi ada pada ruang abu-abu dan tersandera kepentingan politik dan kekuasaan. Amandemen UUD 1945 dituding sebagai salah satu pemicunya.

Momentum Pemilu 2024 diharapkan menjadi momentum bagi warga negeri ini merebut kedaulatan hak-hak sipil dalam menjaga ideologi negara Pancasila. Diyakini bahwa amandemen UUD 1945 akan menjadi ancaman serius Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indoneia jika tak segera dilakukan perbaikan peta jalan mengawal Pancasila.

Demikian rangkuman Urun Rembuk Kebangsaan (URK) yang digelar Bali Post dan Bali TV secara daring melibatkan sejumlah pakar nasional yang dipandu Nurrachman Oerip, mantan Duta Besar Republik Inadonesia untuk Kamboja, Minggu (4/9). Ada tiga narasumber yag mengedukasi masyarakat untuk bergerak dan bangkit menuju Membangun Masyarakat Sipil Beradab, yakni Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof. Dr. Kaelan, MS. dan Prof. Dr. Yudhie Haryono.

Dalam paparannya, narasumber menegaskan, spirit kebangsaan yang tertuang dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan ideologi negara Pancasila harus menjadi roh dan semangat publik mengawal Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dipaparkan, saat ini kesadaran dan hak-hak politik rakyat dalam bernegara tersandera kepentingan politik pragma￾tis dan kekuasaan. Hak-hak sipil hendaknya dikembalikan dengan melakukan komitmen bersama kembali pada spirit bernegara sesuai UUD 1945 sebelum diamandemen.

Sampai saat ini UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Hasil dari amandemen tersebut, menyisakan banyak persoalan baru bahkan menjadi area abu–abu.

Baca juga:  Bali Jadi Inspirasi Kebangkitan Masyarakat Sipil Beradab

Nurrachman Oerip selaku moderator memantik diskusi dengan memberikan latar belakang diangkatnya tema “Membangun Masyarakat Sipil Beradab”. Kegelisahannya akan masa depan bangsa
setelah kemerdekaan dengan mengankat tema tersebut suatu ilustrasi imajinatif yang diharapkan menjadi masyarakat ideal.

Nurrachman Oerip. (BP/Istimewa)

Ditandai dengan tatanan masyarakat yang berdasarkan akal budi yang baik, didukung oleh niat luhur dan juga oleh keinginan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat sipil beradab menggambarkan adanya suatu kepercayaan, saling percaya antara sesama warga, warga dengan pemerintahnya baik pusat dan daerah sehingga memunculkan suatu
gambaran mutual trust and respect.

Refleksi ini perlu dilakukan untuk menatap penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan cermat karena pada saat itu kesempatan untuk menyaring kader dan
pimpinan nasional yang nantinya akan membawa kelanjutan bangsa ini.

Prof. Dr. Sofian Effendi, narasumber pertama menyampaikan, amandemen yang dilakukan oleh MPR selama empat kali berturut-turut menyimpulkan bahwa 97 persen dari ketentuan-ketentuan UUD sudah berubah sama sekali. “Jadi artinya bukan lagi ketentuan-ketentuan lama yang memang disusun berdasarkan perjuangan kemerdekaan Bung Karno,”
ujarnya.

Kondisi sosial, politik, ekonomi Indonesia dan kondisi geopolitik internasional menyebabkan dorongan sangat kuat kepada Indonesia untuk mengubah UUD.
Kondisi yang muncul di Indonesia yaitu gerakan reformasi yang didorong oleh kondisi sosial, politik, ekonomi nasional di penghujung abad 20 yaitu tahun 98, yang didorong oleh faktor internal yaitu tuntutan demokratisasi dari civil society. “Karena membesarnya kelas menengah di Indonesia dan adanya terjadi krisis keuangan pada tahun itu yang menyebabkan nilai rupiah turun menjadi Rp17.000
per 1 USD,” ungkapnya.

Baca juga:  Cek Pengamanan Nataru, Komisi III DPR Kunjungi Polda Bali

Kemiskinan yang merata dan diderita masyarakat Indonesia saat itu menyebabkan adanya tekanan yang kuat kepada pemerintah terutama MPR untuk
melakukan perubahan. Sementara itu secara eksternal dengan berakhirnya perang dingin yang merupakan persaingan antara liberalisme dan kapitalisme,
komunisme dan sosialisme, maka sejak itu pengaruh dari kapitalisme dan liberalisme menjadi sangat kuat.

Narasumber kedua, Prof. Dr. Kaelan, MS., pada URK yang diikuti sejumlah Rektor dan mahasiswa dari sejumlah kampus ini– menyampaikan dampak dari
amandemen UUD. Kedaulatan rakyat dia konstitusi UUD hasil amandemen memang menimbulkkan pertanyaan bahkan ia menilai istilah dalam tata negara tidak jelas atau area abu–abu. “Ini sangat memprihatinkan, negara demokrasi tapi kedaulatan rakyatnya tidak jelas,” ujarnya.

Prof. Dr. Kaelan, MS. (BP/Istimewa)

Kekhawatirannya itu terlihat pada pasal 1, ayat 2 UUD 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan
menurut UUD. Kata-kata tersebut menurutnya tidak jelas. “Menurut teori atau demokrasi mana, di Amerika, Inggris dan berbagai negara, jelas. Kalau
konstitusi 1945 sebelum diamandemen, kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Kalau kaitkan dengan kekuasaan sekarang, sering Presiden mengatakan saya dipilih langsung oleh rakyat sementara ke￾daulatan rakyat engga jelas,” ungkapnya.

Baca juga:  Stok Gas Melon Menipis Akibat Salah Sasaran

Yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif menjadi sangat dominan dan dampaknya di lapangan praktek politik kenegaraan menunjukkan bahwa sekarang hampir 80 persen partai politik merapat ke Presiden. “Ini demokrasi apa di Indonesia ini? Karena jabatan presiden memiliki kemampuan untuk ditawarkan sedangkan partai politik tidak. Padahal seharusnya menurut tata negara, partai politik ini harusnya melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan yaitu presiden, eksekutif, tapi kenyataan engga,” ujarnya.

Narasumber ketiga Prof. Dr. Yudhie Haryono mengatakan, jika merefleksi perjalanan konstitusi, maka kita jadi tahu bahwa empat lembaga publik yang
berkontestasi dan berhubungan dengan kita adalah civil society atau rakyat, neg￾ara, agama, dan pasar. Dalam struktur arsitek politik Pancasila mestinya empat badan publik itu setara. Tapi pascareformasi, yang terjadi adalah dominasi pasar terhadap tiga badan publik yang lain.

Prof. Dr. Yudhie Haryono. (BP/Istimewa)

Sehingga ujungnya adalah neoliberalism. Dalam neoliberalism memang tugas pokok mereka adalah deleting konstitusi. Konstitusi yang dulu bagian integral dan cara kita bernegara diamandemen,
dideleting menyebabkan kita kehilangan jati diri bahkan rabun terhadap Pancasila.

Padahal secara reflektif, dominasi badan publik satu terhadap yang lain itu harus sudah dipikirkan sehingga dulu agar tidak terjadi dominasi, maka struktur politik kita adalah majelis, dimana kamarnya tidak tunggal seperti hari ini, kamar pasar. Tetapi kamar yang dibagi berdasarkan profesi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN