Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Untuk kesekian kalinya Bali mendapat rekognisi internasional yang prestisius. Ubud dinobatkan sebagai kota terbaik ketiga di dunia dan pertama di Asia oleh Travel + Leisure Magazine terbitan New York, Amerika Serikat (AS) tahun 2022.

Sebelumnya, di kisaran tahun 2000-an, Bali pernah mendapat penghargaan enam kali berturut-turut sebagai pulau terbaik versi majalah ini. Rekognisi berdasarkan survey kepada 23 ribu responden dari 915 pelanggan majalah tersebut. Dalam survey itu, Bali mengalahkan kemolekan pulau Cape Breton di Kanada, pulau Tasmania di Australia, pulau Galapagos di Ekuador, dan pulau Phuket di Thailand.

Hermawan Kartajaya (2009) menyatakan bahwa pengelolaan dan karakteristik Ubud secara keseluruhan merupakan kisah sukses penerapan prinsip-prinsip pemasaran 3.0 yang saat ini menjadi metode yang tepat di era human-centric. Era customer-centric dengan pendekatan pemasaran 1.0 dan era customer-centric dengan pola pemasaran 2.0 telah berlalu.

Dalam konsep marketing 3.0, sinergi antara profit oriented dan tanggung jawab sosial untuk menciptakan nilai-nilai positif bagi manusia (khususnya masyarakat lokal), alam dan lingkungan, budaya dan kearifan lokal, merupakan keniscayaan. Ubud menawarkan total experience yang mampu memenuhi kebutuhan jiwa terdalam setiap wisatawan, yaitu kesegaran jiwa, kebahagiaan.

Rekognisi Ubud khususnya dan Bali umumnya mengingatkan jejak popularitas Indonesia di kalangan pasar AS. Achmad Sunjayadi dalam disertasinya yang dibukukan dengan judul “Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1942)” (Kepustakaan Populer Gramedia, 2019) menyatakan, sejarah pariwisata di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda dan kemudian oleh pemerintah Indonesia di awal abad ke-20 dengan mendirikan Vereniging Toeristenverkeer (VTV), sebuah organisasi pariwisata di Batavia, pada 13 April 1908. VTV berfungsi hingga 1942 dengan tugas utama mempromosikan, memberikan informasi dan membuat reklame pariwisata khususnya di Jawa dan kemudian disebarkan di dalam dan luar negeri.

Baca juga:  Mitigasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas

VTV juga memiliki perwakilan di AS, khususnya di New York, San Fransisko, Honolulu, Hawaii. Penempatan VTV di AS pada tahun 1920-an berhubungan dengan minat calon wisatawan dari negeri itu, yang merupakan orang-orang kaya pemilik perusahaan, berkunjung ke Hindia-Belanda. Hal itu tampak pada surat ketua VTV, Van Zalinge, kepada gubernur-jenderal, yang menyatakan, semakin banyak kapal-kapal pesiar dengan penumpang dari AS yang melakukan perjalanan keliling dunia. Jawa menjadi salah satu tujuan utama mereka.

Peran Film

Antusiasme warga AS terhadap Indonesia (waktu itu bernama Hindia-Belanda) juga tampak pada pembuatan film-film dokumenter dari beberapa perusahaan film. Di antaranya, Burton Holmes Travelogues Co mengadakan perjalanan di Jawa dan Bali untuk melakukan pengambilan gambar tahun 1918. Firma Pathe Freres juga melakukan pengambilan gambar untuk film dokumenter mengenai penduduk dan situasi di Hindia Belanda. Newman Travel Talks dan perusahaan film Cowling pada 1924 melakukan perjalanan ke Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta, serta Bali dan Padang, untuk misi pengambilan gambar. VTV menyatakan, film-film dokumenter tersebut dapat menjadi media promosi pariwisata Hindia-Belanda.

Baca juga:  Dibuka untuk Wisdom, Begini Suasana di Ubud

Peran perfilman AS bagi popularitas destinasi Indonesia patut menjadi perhatitan. Film Hollywood merupakan komoditi ekspor terbesar AS, beberapa mengangkat setting Indonesia. Thriller film terbaru berjudul Ticket to Paradise akan dirilis pada Oktober tahun ini yang dibintangi oleh megabintang Hollywood, George Clooney dan Julia Roberts, serta menggandeng artis Indonesia-Prancis (Maxime Bouttier berperan sebagai Gede).

Di film ini ini, Julia Roberts dan George Clooney berperan sebagai pasangan bercerai yang bersatu kembali untuk melakukan perjalanan ke Bali untuk menghentikan putri mereka (Kaitlyn Dever) menikahi pria (Maxime Bouttier). Antusiasme publik pecinta film akan kehadiran film ini sangat besar. Selain karena disutradarai oleh penulis besar Inggris Oliver Parker, yang terkenal karena karyanya “Mamma Mia! Here We Go Again, juga karena setting film di Bali.

Baca juga:  Jelang IMF, Tim Gabungan Sidak Reklame di Ubud.

Sebelumnya, Julia Roberts juga pernah membintangi film Eat, Pray, Love yang mengambil lokasi dan syuting di Bali. Film ini menceritakan kisah nyata Elizabeth Gilberth dalam memoarnya. Gambaran kehidupan Gilbert yang mapan, yang ditandai dengan kehadiran suami yang setia, kekayaan, dan karier yang sukses, bukanlah titik akhir pencarian hidupnya.

Di persimpangan jalan, dia mengubah jalan hidupnya secara drastis. Dia melakukan perjalanan untuk menemukan keaslian hidup. Dia menemukan kenikmatan makan di Italia, kekuatan doa di India, dan kedamaian dan keseimbangan cinta di Bali.

Rekognisi Ubud sebagai kota terbaik ketiga di dunia dan pertama di Asia merupakan bukti bagaimana Ubud dan Bali khususnya serta Indonesia telah menjadi ‘surga’, tempat yang nyaman bagi semua orang. Daya tarik Bali sebagai destinasi yang memiliki keindahan alam dan budaya yang tiada duanya serta keramahan manusia dan makanan yang sesuai dengan selera internasional, menjadikan berbagai warga bangsa datang berkunjung dan mengulangi kunjungannya. Kiranya hal ini menjadi standar untuk pembangunan pariwisata di masa selanjutnya untuk menghadirkan kesejahteraan ekonomi, kelestarian lingkungan dan penghormatan terhadap kebudayaan lokal.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *