I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Salah satu hal mendasar dalam revolusi pendidikan Indonesia saat ini adalah literasi dan numerasi. Namun demikian, pandangan umum terhadap literasi dan numerasi masih berkutat seputar kampanye atau gerakan.

Literasi yang juga menyangkut numerasi sering diwujudkan dalam suatu perayaan dan orasi. Program literasi belum merasuki praktik-praktik baik yang menyentuh dan mendasar. GLS (Gerakan Literasi Sekolah) misalnya stagnan dengan 15 menit baca di halaman sekolah atau hadirnya “pojok baca” di sudut-sudut kelas yang berfungsi hanya sebagai property belaka.

Yang diabaikan oleh gerakan literasi adalah peletakan fondasi-fondasi literasi di lembaga prasekolah. Esai ini bermaksud menguraikan beberapa contoh praktik baik literasi di taman bermain (play group), PAUD, dan TK. Terjadi pandangan yang keliru bahwa mereka tidak tersentuh oleh gerakan literasi mengingat mereka belum bisa membaca.

Memang literasi kemudian mendapat makna baru yakni aktivitas baca-tulis. Hal ini adalah segala konsekuensi dari setelah ditulisnya berbagai pengetahuan manusia yang pada periode peradaban sebelumnya, tersimpan dalam ingatan kolektif. Hal ini terjadi dalam tahap ketika peradaban manusia menapaki abad tulisan atau aksara. Segala pengetahuan yang disimpan dalam ingatan sosial lalu disimpan dalam dunia aksara. Teknologi aksara dimulai dari penemuan tulisan, ejaan, berbagai alas tulis dari kulit, lempengan logam, tembikar, kulit kayu dan hewan, papyrus, bamboo, hingga daun lontar.

Skriptorium dibangun dan di sinilah para penyalin naskah atau manuskrip bekerja dengan tekun. Satu naskah diperbanyak lewat tulis tangan. Inilah cikal-bakal terjadinya silsilah naskah yang melahirkan filologi. Naskah yang disalin tidak hanya memperluas penyebaran dan menambah jumlah salinan (copy) tetapi juga “merusak” naskah babon karena para penyalin tidak memiliki garansi untuk setia dan luput dari kesalahan.

Baca juga:  Tahun Pelajaran Baru, Semangat Baru

Mesin cetak dan kertas ditemukan di Eropa. Era baru kapitalisme cetak dimulai dan menguasai berbagai aspek kehidupan manusia. Pengetahuan tidak hanya dicetak dalam buku yang murah tetapi juga menjadi komoditas yang melahirkan para kelas pemodal yang menangkup keuntungan berlipat-lipat ganda dari bisnis cetak. Dari sinilah istilah print capitalism ditemukan.

Peradaban dunia memasuki era baru yang ditandai dengan menjamurnya perpustakaan umum dan di rumah-rumah, buku dikoleksi, melahirkan perpustakaan pribadi. Buku juga memasuki dunia pendidikan karena materi pelajaran dicetak dalam bentuk buku. Di sinilah literasi tumbuh dengan sangat subur karena sekolah-sekolah mewajibkan siswa membaca sejumlah buku.

Dominasi peran besar aksara sebagai jalan atau teknologi untuk menyimpan semua pengetahuan manusia, menyediakan satu-satunya cara mandiri untuk belajar atau menambang khazanah pengetahuan yang tidak ternilai harganya, yakni hanya dengan membaca. Maka orang yang memilih membaca sebagai jalan belajar dan menambang pengetahuan maka dipandang sebagai insan yang literatus atau terpelajar karena mengantongi kekayaan pengetahuan. Di sini lalu literasi diartikan kaum terpelajar atau kaum berpengetahuan. Kaum yang mendapat pengetahuan dengan cara membaca berbagai ragam pustaka.

Baca juga:  Narasi Politik Kaum Terdidik

Dengan demikian memang tidak berlebihan jika dikatakan bahwa literasi identik dengan tulisan dan membaca. Pengertian ini benar adanya jika diterapkan pada kelompok sosial yang sudah melek aksara dan angka. Namun tidak tepat untuk kalangan anak-anak yang belum bisa membaca dan mengenal angka dalam hidupnya. Mereka ada dalam literasi lisan. Namun istilah ini dianggap tidak cocok karena justru lisan adalah lawan kata tulis atau literasi bertentangan dengan segala yang lisan.

Literasi lisan tidak bisa dimungkiri. Anak-anak prasekolah hidup selama empat tahun dalam fase literasi lisan. Pengetahuan yang terbungkus dalam imajinasi dan cerita semuanya lisan. Orang tua mendongeng adalah hal yang paling umum dan universal dalam fase literasi lisan, sebagaimana pandangan Anthony de Mello, penyusun buku Doa Sang Katak.

Karena itu, untuk membangun literasi tulis harus dimulai dengan literasi lisan. Literasi lisan adalah jembatan penting menuju literasi (literasi tulis). Ada beberpa program literasi lisan anak prasekolah. Yang paling awal adalah mengenalkan buku. Jangan katakan sebuah buku adalah buku. Tapi tunjukan dan dekatkan kepada anak-anak suatu benda yang sedemikian rupa. Bahwa itu adalah kertas yang ditumpuk. Ada sesuatu dalam kertas yang dibendel itu. Mungkin saja gambar yang anak-anak kenali. Tumpukan kertas itu dilapisi oleh kertas yang tebal. Pada bagian ini ada gambar dan tulisan. Jangan paksa anak menerima itu adalah tulisan. Yang terpenting anak-anak akrab dengan benda yang sedemikian rupa itu (adalah buku).

Baca juga:  Kekuasaan dan Kemuraman Demokrasi

Biarkan anak memperlakukan yang disebut buku itu sebagai benda-benda mainan. Buku mungkin bagi mereka adalah papan untuk mendirikan rumah atau terowongan. Buku mungkin alas seperti ubin. Maka jangan paksa anak-anak membacanya. Biarkan mereka menaruhnya di lantai dan selajutnya akan diinjak. Biarkan anak-anak membuka halaman demi halaman dan ini sering sangat sulit mereka lakukan saking licinnya permukaan kertas. Bisa jadi halaman buku robek dan biarkan saja karena inilah praktik baik literasi prasekolah untuk mengenalkan buku yang sangat ramah

Kegiatan ini dilakukan berulang dan sampai pada suatu hari mereka mengenal nama benda itu adalah sebuah buku. Jika dipandang sudah akrab dengan benda yang dinamai buku, sebagaimana mereka mengenal benda-benda lain, seperti sepatu, dapat dilakukan praktik literasi tahap selanjutnya namun masih di wilayah prasekolah atau literasi lisan, yakni membacakan buku. Inilah tahap penting yakni tahap transisi dari literasi lisan ke literasi tulis dan berlangsung di alam prasekolah. Melakukan praktik literasi prasekolah dengan cara ini jauh lebih alamiah ketimbang mengenalkan huruf dan angka dengan satu tujuan milik orang tua: anak-anak bisa baca secara dikarbit. Cara ini menjadikan anak-anak melek aksara namun aliterat!

Penulis, Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *