SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Tegal di Kecamatan Kubutambahan tak saja terkenal dengan perkebunan cengkeh. Desa adat dengan suhu udara yang sejuk ini menyimpan potensi wisata alam. Di wewidangan desa adat ini terdapat dua lokasi objek wisata alam berupa air terjun.
Sadar dengan potensi itu, prajuru desa adat bersama Pemerintah Desa (Pemdes) Mengening, Kecamatan Kubutambahan bergendeng tangan tangan untuk bersama-sama merintis pengembangan objek wisata alam di desa mereka.
Kelian Desa Adat Tegal Kadek Astawawijaya didampingi Penyarikan, Kadek Sri Dana, Kamis (20/10) mengatakan, desa adat ini terdiri dari empat wilayah banjar adat yaitu, Tempekan I Tegal, Tempekan 2 Pengantukan, Tempekan 3 Mengening, dan Banjar Adat Tempekan 4 Pembulan. Di banjar adat itu tinggal sebanyak 550 kepala keluarga (KK) sebagai krama desa. Selain menjadi petani perkebunan cengkeh, krama desa juga menjadi buruh tani serabutan, dan sisanya kalangan pegawai, dan kariyawan suwasta, hingga TNI/ Polri.
Sesuai dresta yang berlaku, seluruh krama desa bertanggung jawab sebagai pangempon baik di Pura Kayangan Tiga dan Khayangan Desa. Untuk Khayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Puseh, dan Pura Dalem.
Sementara, Khayangan Desa rinciannya, Pura Mengening, Pengaturan, Kemulan, Beji/ Taman, Prajapati, dan Pura Tirta Juwuk. “Sesuai awig setiap krama desa kami ini menjadi pengempon sekaligus bertangungjawab untuk menjaga kelestarian dan kesuciannya,” katanya.
Menurut Kelian Desa Adat Tegal, Astawawijaya, selama ini penghasilan krama desa adalah dari hasil berkebun cengkeh. Ada juga menjadi petani penggerap lahan milik warga lain. Belakangan ini tidak saja pada sektor perkebunan, namun desa dinas dan bersama pemeirntahan desa adat merintis pengembangan desa wisata. Ini dilakukan karena di wewidangan banjar adat tempekan 4 kemulan terdapat dua lokasi air terjun.
Sejak ditemukan, air terjun ini dikenal dengan nama “Air Terjun Kebo Iwa” dan “Air Terjun Batu Meteras. Ketinggian curahan aliran airnya cukup tinggi, di mana antara 35 sampai 50 meter untuk di loaksi “Air Terjun Batu Meteras”. Sedangkan, Air Terjun Kebo Iwa curahan aliran airnya lebih rendah, namun lokasinya paling dekat dengan parkir di jalan raya di pusat desa. “Sudah ada sejak lama dan oleh pemerintah desa dinas dan kami di desa adat sedang merintis agar objek ini sebagai daya tarik wisata di desa kami,” jelasnya.
Sejak mulai diperkenalkan dengan promosi dari mulut ke mulut dan melalui media sosial (medsos), beberapa pengunjung dari wisatawan lokal ada tertarik mengunjungi air terjun di desanya itu. Hanya saja, belakangan kendala yang dihadapi adalah sulitnya akses untuk menjangkau ke loaksi air terjun yang berdekatan itu. Saat ini baru jalan setapak dan kondisinya terjal, sehingga masih menyulitkan untuk dilalui pengunjung.
Untuk itu, pihkanya sudah memprogramkan bersama pemerintahan desa untuk bersama-sama melengkapi fasilitas penunjang objek wisata. “Kalau dari loaksi parkir jalan raya memang dekat, tapi jalan maish tanah dan terjal, ini tantangan dan kami sudah komitmen bersama desa dinas untuk bersama-sama melengkapi fasilitas dan mengembangkan obyek air terjun ini, sehingga nantinya menjadi sumber pendapatan dan meningkatkan kesejahtraan amsyarakat,” jelasnya.
Terkait pembangunan fisik di desa adat, Kelian Desa Adat Astawijaya menyebut, pembangunan fisik khususnya bage parhyangan telah berjalan. Ini fokus untuk perbaikan di Pura Desa. Dengan memanfaatkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Gubernur Bali Wayan Koster, pihaknya telah menyelesaikan pembangunan penyengker di Pura Desa. Membangun beberapa palingih, bale piasan, pasamuan, bale kulkul, palinggih tampulawang. Keseluruhan pembangunan fisik ini secara bertahap dilakukan mulai tahun 2019 yang lalu.
Kendati dengan bertahap, namun pembangunan fisik ini telah meringankan beban dan tanggung jawab krama desa. Pasalnya, biaya pembangunan dari BKK APBD Semesta Berencana Pemprov Bali.
Dengan begitu, krama desa menambah swadaya dari tenaga kerja, sehingga pembangunan dapat berjalan. “Kami sangat terbantu dengan adanya bantuan ini, apalagi kami tidak punya PAD asli di desa adat, sehingga dalam pembangunan kami tidak lagi memungut iuran dan suwadaya dari krama dari tenaga kerja. Kami berharap program ini dilanjutkan untuk periode tahun berikutnya, karena sangat membantu dan meringankan tanggung jawab krama desa,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)