Wayan Ramantha. (BP/dok)

Oleh I Wayan Ramantha* dan I Wayan Pradnyantha** Wirasedana

Dua tiga tahun belakangan ini, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) menghadapi banyak tantangan. Mulai dari dampak Covid-19, kelemahan sistem tatakelola, tuntutan hukum hingga ke “meja hijau”, permasalahan modal donasi pemerintah dan pemanggilan agar LPD memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pemerintah Daerah Provinsi Bali tidak tinggal diam, melalui Keputusan Gubernur Bali No.424/03-0/HK/2022 tertanggal 19 Mei 2022 Pemda membentuk Tim Evaluasi Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur terkait Lembaga Perkreditan Desa.

Tim ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa rekomendasi, agar pada saatnya nanti, Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang baru dapat men￾jawab beberapa tantangan LPD. LPD memiliki beberapa tujuan, yaitu :

(1) Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa
melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal
yang efektif;

(2) Memberantas sistem ijon, gadai gelap, dan lain- lain
yang bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan;

(3) Menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi
warga pedesaan;

(4) Menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di Desa.

Baca juga:  Pengembalian Penyertaan Modal dari Koperasi dan LPD Dipertanyakan

Selanjutnya Prof. IB. Mantra (Penggagas LPD) dalam bukunya yang berjudul Potensi Bali Membangun Desa (1984), menguraikan tujuan LPD adalah untuk membantu Desa Adat dalam menjaga fungsi kulturalnya. Dari dua tujuan itu, sangat jelas bahwa LPD bukan merupakan entitas yang berorientasi laba (Nonprofit Oriented).

Menurut Ebrahim, dkk. (2014) dari Harvard Business Scool menyebut entitas seperti LPD sebagai Perusahaan Sosial
(Social Enterprises). Ahli lain, seperti Mair (2014) menyebut perusahaan sosial sebagai organisasi yang memiliki tujuan ganda yang berbeda (Hybrid Organization), namun sifatnya menyatu untuk satu visi (differentiated and integrated).

Mengacu pada pemikiran beberapa ahli itu, LPD sesungguhnya merupakan organisasi sosial pada bidang ekonomi yang tujuan akhirnya tidak untuk mencari laba. LPD adalah organisasi nirlaba, namun pola manajemen dan sistem pelaporan keuangannya, masih “meniru” Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Karakteristik entitas nirlaba, sesungguhnya berbeda dengan entitas bisnis. Perbedaan utama yang mendasar adalah pada cara entitas nirlaba dalam memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas operasinya.

Baca juga:  Sejumlah LPD Tersandung Kasus Hukum, Disbud Badung Usulkan Bendesa Tak Lagi Jadi Pengawas

Entitas LPD memperoleh sumber modal dari donasi (bukan penyertaan) Pemerintah, yang tidak mengharapkan imbalan finansial dari LPD. Sebagai akibat dari karakteristik tersebut, timbul transaksi tertentu yang tidak pernah terjadi dalam entitas bisnis. Namun demikian, dalam praktik entitas nirlaba, termasuk pada LPD, sering tampil dalam berbagai bentuk, sehingga sering kali sulit dibedakan dengan entitas bisnis pada umumnya.

Ke depan, dalam perubahan Paraturan Daerah dan Peraturan Gubernur tentang LPD, penting untuk menjelaskan bahwa LPD adalah merupakan organisasi nirlaba. Karakteristik entitas nirlaba menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 45 (revisi 2010) adalah: (1) Sumber daya entitas nirlaba berasal dari penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber
daya yang diberikan. (2) Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan jika entitas nirlaba menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut. (3) Tidak ada kepemilikan seperti pada entitas bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entitas nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi
pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi.

Baca juga:  Fokus pada Bahan Pokok di Tengah Turbulensi Perekonomian

Laporan Laba Rugi LPD harus diganti dengan Laporan Aktivitas, karena laporan keuangan entitas nirlaba meliputi laporan posisi keuangan (neraca), laporan aktivitas
serta laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Penilaian kesehatannya menggunakan CAMELS, yaitu
sehat modal (Capital/C), aset (Asset/A), manajemen (Management/M), efisien aktivitasnya (Efficiency/E), likuiditas terjaga (Liquidity/L) dan sosial kinerjanya (Social
Performance/S). Dengan langkah itu, kita berharap ada rekonstruksi substantif pada entitas LPD.

Akhirnya, masalah-masalah seperti terurai sebelumnya, tidak lagi menjadi batu sandungan bagi LPD guna membantu Desa Adat dalam menjaga fungsi kulturalnya.

Penulis: Dosen Tetap FEB Unud
* Indonesian Certified Public Accountant (CPA)
** Australian Certified Practicing Accountant (CPA)

BAGIKAN