Suasana di salah satu mal di Denpasar, Bali. Kondisi ekonomi Bali belum sepenuhnya pulih meski wisatawan mancanegara sudah datang dan ada rangkaian pertemuan G20 yang digelar selama 2022 ini. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi ekonomi Bali yang paling parah terdampak pandemi COVID-19, belum bisa bernafas lega meskipun kunjungan wisatawan mulai ada. Menjadi tuan rumah KTT G20 juga dampaknya kecil, terutama bagi pengusaha dan pekerja lokal Bali.

Keuntungan G20 hanya didapat oleh usaha-usaha yang berada dalam jaringan pusat di Jakarta. Pelaksanaan G20 di Bali, menurut Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Dewan Pengurus Daerah Bali, Panudiana Kuhn, pengusaha Bali tak banyak menikmati. “Yang dapat duit orang pusat, kita keceperan dikit-dikit. Transportasi, EO smuanya orang pusat. Kita hanya penonton. Syukur-syukur kebagian travel bisa menyewakan mobil. Hotel kecil ya engga kebagian, semua hotel yang dipilih five star. Apalagi Denpasar, hotelnya masih sepi karena pusat kegiatan di Nusa Dua. Yang ada koneksi dengan bos-bos Jakarta, baru dapat bagian,” bebernya.

Baca juga:  Urus Izin Galian C, Bupati Gede Dana Siap Bantu Pengusaha

Ia mengatakan belum terlihat penurunan permintaan atau order ekspor. Ia optimis ekonomi positif, meski suku bunga acuan BI naik menjadi 4,75%. Kenaikan suku bunga ini tentu akan memberatkan bagi pengusaha terutama yang memiki hutang sementara banyak pengusaha Bali yang
berhutang untuk kelangsungan usahanya.

Sementara imbasnya pada karyawannya. Banyak hotel yang mengurang karyawan, meski sekarang sudah mulai dipekerjakan kembali. Sedangkan pabrik (non pariwisata) tak banyak yang mengurangi karena permintaan ekspor Bali kecil sehingga jumlah karyawannya pun kecil.

Baca juga:  Reformasi Struktural, Membangun Optimisme Ditengah Pandemi Covid-19

“Pabrik tekstil, perak, keramik engga mengurangi pegawai. Hotel-hotel yang banyak mengurangi karyawan sampai mem-PHK,” ujarnya.

Dalam keadaan ekonomi sulit saat ini diakui ia hanya bisa mengandalkan sumber dayanya sendiri. “Kita berusaha survive sendiri tanpa bantuan orang lain, pemerintah, perbankan,” katanya.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Badung
Slamet Suranto, mengatakan, masih ada pekerja yang belum dipanggil untuk bekerja kembali meskipun presentasenya lebih kecil dibandingkan dengan yang sudah dipanggil membali. “Yang dipanggil baru 80% – 90%, ada yang belum bekerja full, dan ada yang bekerja harian,” ujarnya.

Ia mengatakan, saat ini ada pekerja di sektor pariwisata yang dipanggil secara bergiliran untuk bekerja sehingga dibayar harian. Ia pun melihat ada praktek mempekerjakan pekerja secara harian dan dibayar harian. Kondisi ini menurutnya sisa dampak dari pandemi.

Baca juga:  Tanpa “Smoking Area,” Pengusaha di Badung akan Didenda Rp 50 Juta

“Apakah ini akan menjadi fenomena baru, saya masih melihat dan mengkaji,” ujarnya.

Dengan sistem gaji harian menurutnya akan mengurangi upah bulanan atau gaji bulanan seperti sebelumnya. Anggota FSP Par Badung dikatakan ada yang masih
dipekerjakan harian sehingga tidak memberikan kepastian status dan pengurangan pendapatan.

Namun ia menilai kondisi ini bagian dari upaya perusahaan melakukan penghematan, sambil menunggu game changer dari perhelatan G20, apakah akan memberi
dampak terhadap pariwisata Bali atau malah terseret ke jurang resesi global 2023. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN