JAKARTA, BALIPOST.com – Perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang terbukti terlibat dalam penempatan pekerja asal Indonesia secara ilegal akan diajukan rekomendasi dan pengusulan pencabutan izin oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (25/10), Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan, pihaknya berhasil menyelamatkan 160 calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang akan diberangkatkan secara ilegal ke Arab Saudi pada 29 September 2022. Penempatan itu diduga dilakukan sebuah perusahaan penempatan di Bekasi, Jawa Barat.
Benny menjelaskan bahwa PT Zam Zam Perwita yang tempatnya dijadikan penampungan untuk 160 calon PMI itu sebenarnya saat ini tengah mengalami sanksi penghentian sementara kegiatan usaha penempatan PMI dari Kementerian Ketenagakerjaan selama tiga bulan sejak September 2022.
Perusahaan itu juga dikenakan penetapan tunda pelayanan oleh BP2MI. “Usulan kita yang pertama sebetulnya pencabutan izin. Sekarang, otomatis kita ajukan lagi pencabutan. Jadi kedua ini kita ajukan lagi pencabutan dan kita berharap tidak hanya sekedar tunda lagi,” jelasnya.
Sanksi itu dikenakan terkait pelanggaran atas Keputusan Menaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Benny juga mengatakan, pihaknya mendorong kolaborasi semua pihak untuk melakukan pencegahan dan penanganan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) secara nonprosedural.
Menurut data BP2MI, dalam dua tahun terakhir telah ditangani 80.099 PMI terkendala yang sebagian besar ditempatkan secara ilegal. BP2MI juga menangani 3.060 PMI yang sakit dan kepulangan 1.459 jenazah PMI. “Sangat menyedihkan misalnya karena mereka sudah dinyatakan nonprosedural masuk ke negara penempatan pasti memiliki risiko. Risiko hukum sudah pasti karena mereka akan dianggap masuk secara ilegal,” jelasnya.
Risiko lain termasuk rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, eksploitasi, kekerasan fisik dan seksual serta tidak terpenuhinya hak pengupahan karena ketiadaan perjanjian kerja resmi. (Kmb/Balipost)