DENPASAR, BALIPOST.com – Pasubayan Desa Adat/Pakraman Tolak Reklamasi Teluk Benoa bersama ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa) kembali menggelar aksi turun ke jalan, Sabtu (2/12). Ribuan warga datang dari berbagai penjuru dengan menggunakan pakaian adat madya dan berkumpul di Parkir Timur Lapangan Renon.

Massa mulai bergerak dan kemudian melakukan Longmarch menuju ke kantor Gubernur Bali pukul 14.30 Wita. Koordinator ForBALI, Wayan Gendo Suardana, mengatakan berkaitan dengan hak otonom Desa Pakraman, seharusnya negara melindungi dan menghormati hak hukum adat yang ditegaskan dalam pasal 18B (2) UUD 1945 dan pasal 6 Undang-unfang Nomor 39/1999 trntang HAM, karena hak tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan berkeadilan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam kasus reklamasi Teluk Benoa, sudah 39 Desa Adat/Pakraman di Bali menyatakan penolakannya terhadap reklamasi Teluk Benoa, maka sudah seharusnya pula sebagai pengakuan terhadap hukum adat, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan reklamasi Teluk Benoa. “Pengabaian terhadap keputusan Desa Adat untuk menolak reklamasi Teluk Benoa adalah upaya nyata pemerintah untuk menghilangkan hak adat. Bahkan di tengah situasi bencana Gunung Agung juga dimanfaatkan untuk meloloskan rencananya mereklamasi Teluk Benoa oleh PT. TWBI yang mengajukan permohonan rekomendasi kepada Gubernur Bali,” ujar Gendo Suardana.

Baca juga:  Hasil Tracing Dokter Positif COVID-19, Tabanan Tambah 4 Kasus Transmisi Lokal

Dalam aksinya kali ini, ForBALI bersama Pasubayan Desa Adat/Pakraman Tolak Reklamasi Teluk Benoa menyatakan sikap mendesak Gubernur Bali untuk tidak mengeluarkan rekomendasi untuk ijin Pelaksanaan Reklamasi Teluk Benoa. Tindakan tersebut juga sebagai bentuk penghormataan terhadap keputusan-keputusan Desa Adat di Bali yang menyatakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Massa juga menuntut Gubernur Bali dan DPRD Bali segera bersikap secara kelembagaan untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dan meminta agar Perpres 51 tahun 2014 dibatalkan dengan cara bersurat kepada Presiden agar Presiden segera membatalkan Perpres Nomor 51 tahun 2014 dan mengembaiikan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.

Selain itu, ia juga meminta Presiden Joko Widodo untuk menghormati, melindungi dan menghormati Hak Otonom Desa Pakraman yang telah diakui dalam Konstitusi dan UU HAM, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan Perpres 51 tahun 2014 tentang perubahan Atas Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan SARBAGITA dengan memberlakukan kembali Perpres 45 tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita.

Untuk membatalkan rencana reklamasi dan mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi, Gendo mengajak massa aksi untuk terus berjuang dan bertahan setidak-tidaknya sampai 25 Agustus 2018. Menurutnya, pada tanggal tersebut merupakan batas akhir masa berlaku perpanjangan izin reklamasi Teluk Benoa.

Baca juga:  Polresta Denpasar Gelar Simulasi Pengamanan Pencoblosan

Periode pertama izin reklamasi berlaku sampai 25 Agustus 2016 dan karena menteri Kelautan dan perikanan tidak menjawab permohonan perpanjangan ijin lokasi reklamasi, maka menurut undang-undang ijin diperpanjang sampai 25 Agustus 2018. “Kita harus bertahan, jangan sampai izin AMDAL keluar. Hati-hati, terutama kepada desa adat yang berada di pesisir. Salah satu pertimbangan yang membuat izin Amdal tidak terbit adalah karena adanya penolakan reklamasi Teluk Benoa dari masyarakat adat. Masyarakat adat 39 Desa Adat termasuk 15 desa Adat yang terdampak langsung yang ada disekeliling teluk benoa harus bertahan agar tidak berubah sikap. Jika kita bertahan sampai 25 Agustus 2018, maka izin reklamasi akan berakhir dan tidak bisa lagi maka rencana reklamasi Teluk Benoa secara otomatis batal,” tandasnya.

Selain itu, pada kesempatan aksi solidaritas ini, Gendo juga mengkritik tajam Gubernur Bali dalam penyaluran bantuan logistik ke posko pengungsian erupsi Gunung Agung. Berdasarkan informasi yang dihimpunnya di lapangan saat pihaknya bersama WALHI Bali memberikan bantuan, ternyata setiap KK diberikan bantuan logistik beras 2,5 Kg untuk 4 hari. “Tentu hal ini sangat miris. Masak 1 KK diberikan bantuan beras hanya 2,5 kg untuk 4 hari, sedangkan 1 KK itu jumlah keluarganya bervariasi, ada yang 3 sampai 5 orang. Melihat situasi itu, saya tegaskan kepada mereka (para pengungsi, red), ketika pemerintahnya tidak peduli, mereka masih punya saudara dilain tempat yang siap membantu mereka,” pungkasnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Bali Masih Tambah Puluhan Orang Per Harinya, Ini Langkah GTPP

Sementara itu, salah satu perwakilan generasi muda Karangasem yang tergabung dalam ForBALI Tolak Reklamasi, Ketut Darmayasa, mengatakan meskipun desanya saat ini dilanda bencana erupsi Gunung Agung, namun semangat perjuangannya untuk bersolidaritas menolak rencana reklamasi Teluk Benoa tidak akan pudar. Sebab, dampak reklamasi yang dirasakan nanti tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pesisir, namun masyarakat pegunungan juga akan ikut merasakan.

Terutama dalam hal menjalankan upacara ritual, seperti melasti yang mengguanakan pantai sebagai tempatnya. “Intinya kami berjuang agar alam ini tidak rusak, karena kami tahu bencana itu tidak memandang orang miskin, suku apa, dari mana, kasta apa. Apalagi, rencana reklamasi Teluk Benoa ini sudah nyata-nyata bencana yang akan dibuat, tentu kami dari gunung juga ikut menolaknya. Sebab, Bali itu indah tanpa reklamasi,” ujar pemuda asal Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem tersebut. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *