Ni Luh Gde Novitasari. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Luh Gde Novitasari

Indonesia masih termasuk negara berkembang, banyak infrastruktur yang belum maksimal dan masih tahap pengembangan. Secara sederhana pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam
keperluan suatu negara sehingga adanya hal tersebut dapat membantu dan berdampak positif bagi masyarakat.

Pemerintah memerlukan biaya untuk melaksanakan pembangunan dan pemerintahan, tentunya tidaklah sedikit. Biaya yang diperlukan oleh pemerintah dapat berasal dari sumber daya alam maupun pajak sebagai
sumber daya manusia.

Pengambilan pajak oleh negara juga terbilang tidak mudah, karena kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tergolong sangat berpengaruh. Minimnya ilmu pengetahun
dalam persepsi, pemahaman, ataupun pelayanan pajak membuat masyarakat menganggap pajak adalah hal yang sia-sia, maka dari itu dibutuhkan sosialisasi yang mendalam kepada masyarakat mengenai pajak.

Tanggal 29 Oktober 2021 telah diberlakukan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Poin penting dalam UU HPP salah satunya adalah Pergantian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak pribadi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Baca juga:  ”Ngereh”, Mistik dan Tak Gentar

Masyarakat pada awalnya menjadi wajib pajak dengan menggunakan kepemilikan NPWP, apabila sudah memiliki persyaratan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan undang-undang pajak maka wajib pajak memiliki kewajiban agar mempunyai NPWP. Adanya NPWP diharapkan dapat memotivasi wajib pajak agar patuh dan membayar pajak, walaupun mempunyai NPWP tidak menjamin wajib pajak untuk membayar pajak, namun lebih baik dari pada wajib pajak yang tidak memiliki NPWP.

NPWP dianggap menjadi sebuah masalah ketika masyarakat mempunyai stigma bahwa proses pemilikan termasuk rumit. Masyarakat di Indonesia sudah memiliki nomor induk pekendudukan sejak lahir dan dipakai sampai meninggal, sedangkan dalam hal ini masyarakat harus membuat NPWP, Paspor, BPJS dengan nomor yang berbeda.

Risiko kemungkinan adanya data ganda, pemalsuan dokumen, maupun kurangnya pemahaman masyarakat dalam menerima info yang diberikan dapat terjadi.  Berlakunya UU HPP mengenai NIK menjadi KTP bertujuan untuk Indonesia menjadi single identity number dengan identitas digital. Setiap Penduduk wajib memiliki nomor induk kependudukan (NIK). NIK berupa 16 digit angka sebagai nomor identitas yang dicantumkan dalam setiap dokumen penduduk.

Baca juga:  Mensejajarkan Kelompok Disabilitas di Indonesia

NIK digunakan untuk urusan administrasi kependudukan, keamanan dan kemudahan akses layanan publik lainnya. Kebijakan terbaru yaitu diberlakukannya UU HPP yang salah satu poin pentingnya adalah pergantian NPWP dengan NIK. Kebijakan ini menciptakan efek kesederhanaan dan kemudahan kepada masyarakat dalam pelayanan publik dengan hanya satu nomor untuk semua keperluan.

Hal yang harus dipahami masyarakat terkait rencana implementasi NIK menjadi NPWP adalah masyarakat akan semakin mudah dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan; tidak perlu lagi membuat NPWP; Tidak semua
pemilik NIK harus membayar pajak, pemilik NIK yang wajib membayar pajak adalah yang NIK-nya sudah diaktivasi; Konteks penggunaan NIK sebagai NPWP adalah kemudahan dan kesederhanaan administrasi, serta mendukung kebijakan satu data Indonesia, bukan pengenaan pajak kepada semua orang yang memiliki NIK.

Baca juga:  Waspada Depresi dan Bunuh Diri saat Pandemi COVID-19

Dampak positif penggabungan NIK menjadi NPWP Pajak adalah Ditjen Pajak lebih mudah untuk melakukan pelacakan dan pemungutan pajak; Memperoleh basis data perpajakan yang luas dan akurat; Masyarakat memperoleh
pelayanan perpajakan yang lebih cepat dan mudah; Tidak perlu memiliki banyak identitas untuk melakukan kewajiban perpajakan.

Sedangkan dampak negatifnya adalah banyak masyarakat yang salah menafsirkan, mengira yang sudah mempunyai NIK akan menjadi Wajib Pajak; Selain itu penerapan NIK menjadi NPWP membuat semua transaksi akan terdeteksi dan keterbukaan data juga semakin jelas, seharusnya petugas pajak lebih mengawasi lagi. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya sinergi antara masyarakat dengan
Ditjen Pajak sehingga program pengunaan NIK menjadi NPWP bisa diterima di semua kalangan dan tidak adanya pro dan kontra terhadap kebijakan baru yang diambil oleh Ditjen Pajak.

Penulis, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Angkatan ke-2, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

BAGIKAN