Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Selain harus mampu mengelola sendiri sampah yang dihasilkannya, kampus-kampus perguruan tinggi di negeri ini diharapkan pula mampu memanfaatkan sampah di lingkungannya menjadi produk-produk yang lebih berdaya guna. Sampah telah menjadi problem kita bersama.

Setiap hari kita memproduksi sampah. Nyaris setiap aktivitasyang kita lakukan dan lakoni menghasilkan sampah. Merujuk data dari Indonesia National Plastic Action Partnership 2020 sebanyak 67,2 juta ton sampah Indonesia masih menumpuk setiap tahunnya, dan 9 persennya atau sekitar 620 ribu ton masuk ke sungai, danau, dan laut.

Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 85.000 ton sampah dihasilkan per harinya, dengan perkiraan kenaikan jumlahnya mencapai 150.000 ton per hari pada
tahun 2025 mendatang. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), ditilik dari jenis sampahnya, komposisi sampah secara nasional saat ini terdiri dari sampah sisa makanan (29,8 persen), plastik (15,5 persen), kayu/ranting/daun (12,6 persen), kertas/karton (11,9 persen), logam (6,5 persen), kain (6,4 persen), kaca (6,1 persen), karet/kulit (3,4 persen), dan lainnya (8 persen).

Baca juga:  Bagaimana Nasib Pertanian Bali?

Adapun berdasarkan sumber asal sampahnya, komposisinya terdiri dari sektor rumah tangga (40,6 persen), pusat perniagaan (18,5 persen), pasar tradisional (16,9 persen), perkantoran (8,4 persen), fasilitas publik (6,4 persen), kawasan (5,9 persen), dan lainnya (3,3 persen). Sebagai institusi yang menampung dan dihuni oleh banyak individu, lingkungan kampus perguruan tinggi sudah barang tentu ikut pula menghasilkan sampah.

Umumnya, sampah yang dihasilkan dari lingkungan kampus perguruan tinggi yaitu berupa kertas serta plastik pembungkus/kemasan makanan, botol plastik bekas
minuman, kertas tisu, sisa-sisa makanan serta daun dan ranting tumbuhan. Idealnya, setiap kampus perguruan tinggi mampu mengelola sampah yang diproduksinya.

Dengan demikian, kampus tidak ikut menambah beban pengelolaan sampah di lingkungan kota tempat kampus itu berada. Dengan otonomi dan sumber daya yang dimilikinya, kampus-kampus perguruan tinggi semestinya bisa menangani sampah di lingkungannya secara lebih mandiri.

Pengelolaan sampah kampus dapat dimulai dari langkah yang paling sederhana yaitu pemilahan. Seperti diketahui, timbulan sampah secara garis besar terdiri dari dua jenis sampah yakni sampah organik dan anorganik. Khusus untuk lingkungan kampus, dari kedua jenis sampah ini, dapat dipilah ke dalam sekurangnya tiga kelompok.

Baca juga:  84 Persen Koruptor Merupakan Lulusan Perguruan Tinggi

Kelompok pertama yaitu sampah sisa makanan dan sisa bahan makanan, sampah daun pembungkus makanan, sampah sisa buah-buahan, dan kulit buah-buahan. Kedua, sampah daun dan rumput, juga ranting-ranting pohon. Ketiga, sampah plastik, seperti kantong plastik, gelas plastik dan botol plastik, kaleng sisa minuman kemasan, kertas, karton/duplek.

Dengan adanya pengelompokan tersebut, pihak kampus setidaknya perlu menyediakan tiga jenis tong sampah yang persebarannya merata ke seluruh lingkungan kampus. Tiap-tiap tong sampah dipasangi label dan keterangan jelas guna peruntukannya masing-masing.

Pemilahan penting dilakukan untuk memudahkan penanganan sampah pada tahap-tahap berikutnya. Dalam soal reuse dan recycle sampah, kampus semestinya dapat menjadi pelopor. Sebagai pusat ilmu dan inovasi, kampus perguruan tinggi diharapkan dapat turut menelurkan produk-produk bermanfaat hasil dari pengolahan produksi sampah mereka.

Baca juga:  Pemerintah Luncurkan KIP Kuliah Merdeka, Ini Besaran Bantuannya

Kampus, misalnya, dapat menginisiasi program pembangkit listrik dari sampah padat yang ada di lingkungan kampus. Listrik yang dihasilkan kemudian digunakan untuk memasok energi di lingkungan kampus. Sementara itu, untuk mengurangi produksi jenis sampah tertentu, kampus tak perlu ragu menerapkan larangan penggunaan produk-produk tertentu di lingkungan kampus.

Di beberapa kampus, baik di mancanegara maupun di dalam negeri, saat ini telah diberlakukan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Contohnya, di Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur. Selain larangan, tak kalah
pentingnya yaitu kampanye mengenai pengelolaan dan pengurangan sampah di lingkungan kampus kepada segenap warga kampus. Kampanye bisa lebih digencarkan khususnya ketika masa orientasi penerimaan mahasiswa baru.

Dengan demikian, para mahasiswa baru memiliki pemahaman yang baik serta kesadaran yang lebih tinggi bagaimana mereka harus berperilaku yang
mendukung pada terciptanya lingkungan kampus yang minim sampah.

Penulis, Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN