Pura Segara Payan. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Pembangunan atau renovasi tempat suci adalah salah satu bentuk yadnya pada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Hal ini juga dilakukan oleh Semeton Pasek Gaduh, Desa Antap, Selemadeg, Tabanan yang mulai 2017 silam melakukan renovasi total keberadaan Pura Segara Payan.

Setelah rampung seluruh pembangunan, selanjutnya dilakukan upacara Ngenteg Linggih, Pujawali Tawur Wrehespati Kalpa Padudusan Alit, Selasa (8/11). Manggala Karya, I Gede Ketut Sukarta, S.Pd. MM menjelaskan, pembangunan Pura Segara Payan dengan luas 6,5 are ini dilakukan tiga tahap.

Mulai dari Pelinggih, selanjutnya Kori Agung dan penyengker, dan terakhir bale gong. Untuk anggaran pembangunan Pura berasal dari urunan pengempon atau semeton Pasek Gaduh desa Antap Kaja sebanyak 70 KK, serta bantuan dan hibah dari DPRD Provinsi dan Kabupaten dengan total seluruhnya Rp700 juta. “Renovasi total sudah sejak 2017 silam ini dikarenakan bangunan Pura sudah berusia tua dan itupun masih gunakan bahan beton kapal, sekarang diganti dengan batu hitam gunung agung,” jelasnya.

Baca juga:  Pasar Tradisional di Tabanan Hanya Buka Tiga Jam, Ini Jadwalnya

Menariknya lagi, keberadaan Pura Segara Payan kini juga dilengkapi dengan patung Ratu Laut Selatan sebagai tempat pengayatan untuk memohon keselamatan agar senantiasa dilindungi. Patung ini diletakkan tepat di bawah Pohon Ketapang besar berusia ribuan tahun di areal utama Pura. “Karena status Pura adalah Pura Segara dimana rencang-rencang yang dipercaya ada di segara kita ayat di sini,” ucapnya.

Jro Mangku Sukarta juga mengatakan, keberadaan Pura Segara Payan tentunya tak terlepas dari sejarah leluhur sebelumnya yang pekerjaan sehari-harinya sebagai nelayan (menega). Konon ceritanya ada dua orang nelayan bersaudara saat berada ditengah lautan selatan diombang ambingkan oleh ombak besar sehingga dalam keadaan panik untuk menyelamatkan diri, mereka sempat melontarkan janji (mesesangi) pada penguasa laut selatan atau segara, kalau selamat sampai ditepi pantai, maka dimanapun mendarat akan membangun tempat suci atau pengayatan. “Akhirnya mereka selamat dan tempatnya disini (di pantai Payan). Dan menurut cerita pohon ketapang besar di areal utama Pura ini umurnya hampir ribuan tahun dan dulunya dilihat diatas pohon seperti ada sinar sehingga selamat sampai menepi disini, sedangkan satu orang lagi terdampar di wilayah Jemberana (desa baluk),” terangnya.

Baca juga:  Penyineban Usaba Dangsil, Daha-Truna Ngaturang 700 Banten Tegeh

Karena keduanya selamat akhirnya mereka menepati janji yang pernah dilontarkan dimana di pantai Payan juga terdapat batu berbentuk lingga untuk Pelinggihan. Hingga lama kelamaan dibuat turus lumbung dan kini sudah menjadi pelinggih (Pura).

“Pura ini statusnya Pura swagina karena leluhur sebagai nelayan, jadi status Pura segara bukan kawitan. Namun peruntukan tetap untuk umum, jadi siapapun bisa melakukan persembahyangan di Pura Segara Payan,”jelasnya.

Baca juga:  Pemkab Jembrana Gelar Puncak Pujawali di Pura Alas Purwo

Terkait upacara Ngenteg Linggih dikatakannya ini baru pertama kalinya dilaksanakan. Dimana untuk rangkaian upacara Ngenteg Linggih, Pujawali Tawur Wrehespati Kalpa Padudusan Alit, dipuput oleh tiga pandita seperti Ida Pandita Mpu Gaduh Kaba-kaba, Ida Pandita Mpu Gelgel Ampadan, dan Ida Pandita Mpu dari Griya Pupuan.

Rangkaian prosesi upacara yadnya kali ini berjalan khidmat dengan alunan tabuh gong dari Sekaa Sanggar Natya Praja. Sanggar di bawah binaan Ketut ‘Boping’ Suryadi yang diketuai oleh Gede Yusma Hanggara Putra ini sudah sering ngayah di tiap piodalan sejumlah Pura sejak tahun 2010 silam. “Kami senantiasa dipercaya ngayah sekaa gong di tiap kegiatan piodalan di sejumlah Pura,”jelas Gede Yusma. (Puspawati/balipost)

BAGIKAN