John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Hutabarat alias Brigadir J, Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Bripka Ricky Rizaal dan Kuat Maruf sudah menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 17 Oktober 2022. Satu per satu, apa yang masih menjadi pertanyaan publik terkuak.

Menilik dari perannya, Ferdy Sambo ditetapkan tersangka
pembunuhan berencana terhadap Yoshua. Bersama empat tersangka lain, Ferdy Sambo dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP.

Mereka terancam hukuman mati. Di Indonesia, setidaknya terdapat 12 undang-undang yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana. Sesungguhnya hukuman mati masih menjadi kontroversi di berbagai negara. Apa alasannya?

Penentang Hukuman Mati

Kubu ini menolak hukuman mati berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, ciri kesewenang-wenangannya. Hukuman mati justru menyalahi prinsip dasar suatu hukuman, yakni memberi efek jera kepada pelaku kejahatan supaya tidak
mengulangi perbuatannya.

Baca juga:  Bersatu Padu Mengatasi Depresi Ekonomi Bali

Hukuman mati bersifat paradoks, karena orang yang seharusnya menjalani hukuman itu, malah direnggut nyawanya, sehingga seketika, ia berhenti menjalani hukumannya. Kedua, hukuman mati sama saja dengan pembunuhan. Yang membedakan keduanya hanyalah kenyataan, bahwa hukuman mati dilegalkan, sedangkan pembunuhan dilarang.

Ketiga, apa yang disebut-sebut sebagai efek jera terhadap timbulnya kejahatan baru pun, menurut para ahli tidak terbukti. Sejumlah kriminolog mengklaim, bahwa mereka memiliki bukti statistik tentang meningkatnya jumlah
kejahatan beberapa hari setelah sebuah eksekusi mati dilakukan terhadap sejumlah pelaku kriminal (MacClellan, G.,1991). Keempat, hukuman mati juga rentan terhadap kekeliruan.

Pendukung Hukuman Mati

Kubu ini mengemukakan argumentasinya berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pertama, hukuman mati memenuhi prinsip retribusi (kesetaraan). Para terpidana mati dianggap sudah melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan oleh masyarakat, sehingga mereka patut menerima hukuman setimpal.

Baca juga:  Pendidikan Bukan Sekadar Kelulusan dan Ijazah

Kedua, pelaku kejahatan adalah musuh masyarakat dan sebelum mengakibatkan kerusakan yang lebih parah, mereka harus disingkirkan. Negara yang sehat adalah negara dengan sedikit jumlah penjahatnya (Jean-Jaqueaus Rousseau, 1712-1778).

Ketiga, hukuman mati tidak sama dengan pembunuhan. Jika keduanya disamakan, maka perang harus dihentikan, mengingat dalam peperangan pembunuhan tidak bisa dielakkan. Keempat, hukuman mati mengandung efek jera, karena setiap orang memiliki rasa takut alamiah terhadap kematian.

Kelima, pelaku kejahatan melakukan kejahatan atas kemauan bebasnya. Hukuman mati penting untuk mencegah korban sekaligus calon pelaku kejahatan.

Alternatif Hukuman Mati

Perdebatan tentang hukuman mati ini melahirkan pemikiran tentang hukuman seumur hidup sebagai pengganti hukuman mati. Biasanya negara-negara yang sudah menghapus hukuman mati, baru akan menggantinya dengan hukuman seumur hidup, setelah menghentikan eksekusi mati selama kurang lebih 30 tahun.

Baca juga:  Program Rehabilitasi Tak Lindungi Jaringan Pengedar Narkoba

Rehabilitasi merupakan alternatif kedua terhadap hukuman mati. Artinya, setelah menjalani rehabilitasi selama kurun waktu tertentu, tanpa pemotongan tahanan dan kebebasan bersyarat, si terpidana yang dianggap fit dibolehkan kembali ke masyarakat sebagai manusia baru.

Bagiamana pun sistem hukum negara kita masih menganut hukuman mati. Maka hemat penulis, hukuman mati hanya boleh diterapkan, sejauh ada kepastian bahwa hukuman itu ditegakkan bagi semua pelaku kejahatan berat sejenis tanpa kecuali.

Sebaliknya, penghapusan hukuman mati perlu dipertimbangkan, manakala terdapat indikasi kuat tentang melemahnya integritas moral yang menjamin keabsahan dan keadilan terhadap pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Pertanyaannya, apakah Ferdy Sambo cs, layak dijatuhi hukuman mati atas kekejian mereka, oleh sistem pengadilan yang ada di negara kita? Mari ikut merenung, dan biarlah keadilan ditegakkan meski langit runtuh.

Penulis adalah Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *