Seorang penari sedang menginjak bara api saat pementasan Tari Sanghyang Jaran serangkaian Nusa Penida Festival. (BP/sos)
SEMARAPURA, BALIPOST.com – Taksu Desa Jungutbatu, Nusa Lembongan, Tari Sanghyang Jaran, masih eksis di masyarakat. Namun, tarian yang memiliki makna keharmonisan rwa bhineda ini terhadang regenerasi. Dihantui kepunahan.

Dalam Nusa Penida Festival yang dibuka Rabu (6/12), tarian ini dipentaskan. Tari yang dibawakan Sekaa Oncer Saraya di Pantai Mahagiri, Desa Jungutbatu, sukses membuat ribuan penonton berdecak kagum.

Ribuan penonton rela menunggu. Tak hanya dewasa, namun juga anak-anak maupun lansia. Wisatawan domestik dan asing juga nampak antusias duduk di areal pementasan. Beralaskan pasir putih layaknya di Pantai Kuta. Berdesakan menunjukkan suasana akrab.

Saat pentas mulai, wajah mereka nampak terkagum. Tidak salah. Tarian itu sangat jarang ditemui. Terlebih gerakannya yang unik. Mengikuti alunan musik dan gagendingan. Sangat sendu, dan memunculkan kesan tenang.

Penarinya sebagian besar anak-anak. Hanya dua orang yang berusia tua. Yang trance. Warna pakaian mereka tak sama. Separuh putih. Separuh merah.

Mereka menunggangi peralatan berbentuk kuda yang terbuat dari kayu. Ukurannya kecil. Bentuknya melengkung. Sekitar 15 menit menapaki kalangan, seluruh penari bak terbawa suasana. Seolah tengah menunggangi kuda sungguhan. Langsung berlari ke luar kalangan. Menyelusuk ke sela-sela barisan penonton yang rapat. Tak sedikit yang dibuat terkejut dan langsung berpindah tempat.

Sesaat setelah itu, dua penari tua dengan pakaian merah dan putih kembali masuk ke tengah kalangan. Kembali menunjukkan gerakan serupa dengan di awal. Ada 10 menit lamanya. Disela-sela itu, ada yang membakar serabut kelapa. Apinya berkobar. Asapnya mengepul.

Baca juga:  Karya Ngusaba Pura Ulun Danu Batur, Ini Pengalihan Arus Lalinnya

Mereka yang dalam kondisi trance langsung “menyerang” api itu. Kakinya menghentak, memporak-porandakan seluruhnya. Percikan api tersebar. Namun masih jauh dari penonton. Dari raut wajahnya, semua seolah terasa biasa. Tak menunjukkan kepanasan. Sedikitpun tak ada luka. Malahan, mereka kembali menari hingga selesai.

Klian Sekaa, Guru Mirah Maharani menuturkan secara keseluruhan, pementasan itu melibatkan 14 perempuan dan 17 laki-laki. Khusus penari, yang trance hanya dua orang.

Sekilas terkait kemunculan tari ini, diceritakan bermula dari adanya sulinggih asal Bangli bernama Ida Pedanda Gede Punia meselong (akan dibunuh) oleh raja ke Nusa Penida sekitar 1894. Ini membuat para perbekel di pesisir Nusa Gede tidak ada yang berani menerima, karena takut juga dibunuh.

Akhirnya Ida Pedanda itu berlayar lagi sampai ke Desa Jungutbatu, yang kala itu jero mekelnya, Nyoman Jungut, yang tak lain buyutnya Maharani. “Karena kasihan, Ida Pedanda ini diterima di rumah kumpi saya itu. Cuma karena tidak ada rumah, beliau itu ditempatkan di Bale Gede,” ujarnya.

Sejak itu, tarian Sanghyang Jaran diajarkan kepala Jero Mekel dan keluarga. Setelah berjalan enam tahun, akhirnya datang utusan dari Bangli, yang menyatakan Ida pedanda harus dibunuh. Jika tidak diperkenankan, maka keluarga yang menerimanya yang dibunuh.

Baca juga:  Pandemi COVID-19 Tak Surutkan Daya Cipta Kreasi Seniman

Akhirnya jero mekel rela untuk itu. Sedangkan sulinggih dibuang ke segara dalam keadaan hidup, supaya Desa Jungutbatu tidak ada tetesan darah. “Jadi kesenian ini asalnya memang dari Bangli yang disebarkan oleh sulinggih itu dengan cara mengajarkannya ke keluarga Jero Mekel dan masyarakat sini,” terangnya.

Vakum 50 Tahun

Setelah diajarkan, masyarakat yang menekuni tarian ini tak terus berlanjut. Sekitar 50 tahun tak ada yang mementaskan. Tak ada regenerasi. “Yang saya ingat, pentas terakhir itu saat saya masih kecil sekali, dan ketika itu saya juga ikut sekaa sebagai penunggang jaran. Tapi tidak tahu gending,” ungkap Maharani.

Nah, pada 2006, warisan leluhur ini perlahan bangkit. Beberapa mulai ada yang meminati. Namun tak langsung berjalan mulus. Naskah gending yang tergolong panjang, sempat tidak diketahui. Tidak ada lagi peninggalan tertulis.

Akan tetapi, setelah ditelusuri, itu bisa digali dari anak Nyoman Jungut, Ni Wayan Singgih atau Men Sor yang tergabung dalam sekaa. “Saya yang mendengarkan mencatat gendingnya, mulai pertama sampai akhir yang jumlahnya sepuluh pakem. Jadi penulisan tembang ini menjadi buku, dari ucapan lisan yang beliau sampaikan. Pada 2007 beliau meninggal,” terangnya.

Khusus untuk warna kuda dijelaskan putih sebagai simbol betina, yang bernama Once Sraya. Sedangkan merah bernama Nala Sanda sebagai simbol jantan. Ini bermakna keberadaan dua hal berbeda (rwa bhineda) bisa saling berdampingan dan harmonis.

Baca juga:  Ini, 7 Makanan Khas saat Perayaan Galungan

Di tengah pesatnya perkembangan zaman, kekhawatiran akan terjadinya kepunahan masih menghantui. Penari yang bisa mengalami trance sangat sulit didapatkan. “Padahal dari dulu mencari, termasuk dari keturunan penari sebelumnya. Namun tetap saja tidak bisa (trance-red). Makanya saat ini sekaanya itu hanya memiliki dua, namun berusia tua dan secara bergiliran diajak tampil. Makanya saya khwatir. Yang kecil-kecil saya ajak, semoga ke depan mereka bisa trance. Karena kalau tidak, tidak akan berani menginjak api,” bebernya.

Sifatnya yang sakral, pementasannya tak bisa secara sembarangan. Penari terlebih dulu harus malukat. Tidak sedang menstruasi.

Selain di Nusa Penida Festival, tari ini juga sering dipesan untuk naur sesangi. “Pernah ada seorang ibu bernama Men Nila yang sudah punya lima anak dan kesemuanya perempuan. Akhirnya mesesangi, jika hamil lagi dan anaknya laki-laki, maka akan ngupah tarian Sang Hyang Jaran sebanyak lima kali. Dan itu pun menjadi kenyataan,” ucapnya.

Selain Sanghyang Jaran, di Desa Jungutbatu juga pernah ada tari Sang Hyang Dedari. Namun, itu belum bisa dibangkitkan lantaran tidak ada refrensi. “Saya yang sudah mencoba menelusuri, kesulitan untuk mendapatkan jejak Sang Hyang Dedari,” tandas Maharani. (Sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *