Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjabarkan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konferensi pers Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari di Jepara, Jawa Tengah, Jumat (25/11/2022). (BP/Ant)

JEPARA, BALIPOST.com – Sepanjang Januari sampai awal November 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan telah menerima 3.081 aduan kekerasan terhadap perempuan. Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dari jumlah itu setengahnya adalah kekerasan seksual dan sekitar 860 aduan terjadi di ruang publik, serta lebih banyak lagi terjadi di ruang personal.

“Ini berarti bahwa upaya kita untuk memastikan implementasi dari undang-undang tindak pidana kekerasan seksual ini menjadi sangat penting,” ujarnya dalam konferensi pers Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari di Jepara, Jawa Tengah, dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (25/11).

Baca juga:  Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi, Dua Bandara Terdampak

Andy menuturkan banyak masyarakat tidak tahu dengan cukup mendalam tentang apa saja yang di atur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru saja hadir pada awal tahun 2022.

Menurut dia, undang-undang itu mengupayakan untuk memastikan pemenuhan dari hak-hak korban dalam hukum acara pidana maupun juga tentang pemidanaan itu sendiri. “Kita masih punya pekerjaan rumah karena sampai sekarang revisi KUHP belum memastikan bahwa berbagai persoalan kekerasan seksual yang tertinggal dari undang-undang tindak pidana kekerasan seksual dapat dengan lebih mumpuni ditangani,” kata Andy.

Baca juga:  Tantangan Perempuan Era Digital

Lebih lanjut ia mencontohkan masih ada beberapa praktik kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan budaya, seperti perlakuan dan pemotongan genitalia perempuan yang kini masih banyak ditemukan dalam praktik bermasyarakat.

Tak hanya itu, tantangan lainnya adalah perkawinan anak. Apabila mengacu Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, praktik itu adalah bentuk pemaksaan perkawinan. “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemenuhan penegakan dari hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” jelas Andy.

Baca juga:  Ini Alasannya, Pemerintah Berlakukan "Masker untuk Semua"

Komnas Perempuan memandang diskriminasi berbasis gender merupakan salah satu akar utama dari kekerasan terhadap perempuan akibat struktur dan kondisi sosial masih menempatkan perempuan jauh di bawah laki-laki dan dianggap sebagai pendukung.

“Dalam upaya untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan sangatlah penting untuk memastikan adanya kesetaraan yang substantif yang tentunya hanya bisa dihadirkan jika rasa kesalingan–bahasa KUPI adalah mubadalah–dan juga saling menghormati yang betul-betul tulus hadir dari keyakinan baik laki-laki maupun perempuan adalah juga makhluk ciptaan yang setara di mata Sang Khalik,” pungkasnya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN