Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Jalan panjang, kita masih punya sisa waktu lebih dari 1 tahun penyelenggaraanya, Pemilu tahun 2024 sudah hangat untuk dibicarakan. Tentunya Tahun 2024 mendatang Pemilu yang meliputi juga Pilkada dapat berlangsung secara damai, aman, tentram, menyenangkan dan berintegritas. Kita pahami bersama, Pemilu sebagai instrumen demokrasi dan upaya membangun perubahan kondisi bangsa yang lebih baik menjadi penting maknanya bagi bangsa Indonesia.

Suatu kewajaran bagi setiap warga negara dalam mengambil peran masing-masing untuk menyukseskan Pemilu ini. Semua pihak harus menjalankan perannya secata konsisten. KPU, Bawaslu, Parpol, TNI/Polri, termasuk juga media / pers beserta seluruh masyarakat harus bahu membahu dan bekerja sama untuk mewujudkan Pemilu luber dan jurdil ini.

Di sampIng itu, harus menyadari bahwa sukses pemilu tersebut tentu merupakan indikator yang jelas bagi sukses pelaksanaan kehidupan demokrasi di negeri ini. Kualitas inilah yang akan menempatkan proses konsolidasi demokrasi Indonesia pada tingkat yang lebih tinggi. Suatu kondisi yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Jalur mulus untuk mencapai sukses pemilu memang bukan hal yang mudah. Harus lebih proaktif dalam banyak hal khususnya berkaitan dengan setiap agenda pemilu. Memaksimalkan semua potensi yang ada secara optimal, cermat, dan efisien. Mulai dari sosialisasi dan persiapan pemilu yang baik. Peningkatan akurasi data pemilih sampai pada pemantauan dan pengawasannya. Melakukan upaya pencegahan pada pemilih fiktif atau ghost voters. Mendorong para pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Serta, meningkatkan kapasitas pengawasan agar tidak terjadi praktik-praktik yang berpotensi menghambat penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.

Baca juga:  Bawaslu Buleleng Dalami Dugaan Money Politic

Praktik isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) dalam materi kampanye, black campain, hate speech dan hoaks harus menjadi musuh kita bersama. Mengkampanyekan visi, program dan capaian keberhasilan harus di kedepankan bersama. Kita sadar dan hidup mengalami kebhinnekaan. Kesadaran untuk menghapus politik identitas semakin meluas. Tak sedikit pemimpin, tokoh agama, pemuka masyarakat, tokoh adat yang menganjurkan itu. Politik identitas memang menjadi ancaman. Tak hanya di Indonesia. Tapi, juga di sejumlah negara. Termasuk negara yang selama ini telah mengklaim sebagai negara maju. Yang menjadikan agama sebagai ruang privat semata. Tentu perwujudan masing-masing negara akan politik identitas berbeda-beda. Identitas kelompok yang menjadi dasar perjuangan politiknya juga beragam. Tidak hanya berbasis agama. Tapi, juga suku, ras, dan golongan.

Politik identitas merupakan ekspresi kepentingan politik untuk membela kelompoknya. Mereka yang mengorganisasi atas dasar ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik. Jadi, tidak melulu agama. Politik identitas sangat terasa tidak hanya mengancam demokrasi tetapi juga persatuan dan kesatuan negeri ini. Negara hadir, kita sudah punya instrumen hukum yang dapat menekan hal-hal / informasi negatif (hoaks, bully, caci maki, politisasi SARA, Politik Identitas) yang hadir bersliweran di dunia maya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Guru Besar Unair, Henri Subiakto yang juga mantan Staf Ahli Bidang Hukum Kemkominfo dalam  sebuah Diskusi Publik UU ITE, medio September tahun lalu menyatakan saat ini terdapat 204,7 juta pengguna internet di Indonesia.

Baca juga:  Ketatanegaraan dan Pemerintahan

Regulasi ITE mengatur soal informasi elektronik dan transaksi elektronik. Contoh  informasi elektronik adalah data elektronik, suara, peta, gambar, rancangan, electronic data interchange (EDI), foto, surat elektronik atau email, teleks, telegram, huruf, tanda, simbol dan kode akses. Sementara transaksi elektronik adalah perbuatan hukum dengan cara menggunakan media elektronik dan jaringan komputer. Contoh kasus yang melekat dalam ingatan, adalah saat momen Pemilu yang lalu. Dimana saat itu banyak konten negatif yang beredar, dari situ kehadiran UU ITE sangat terasa manfaatnya, yakni untuk melindungi hak warga negara dalam menggunakan internet atau media sosial secara aman dan nyaman. Penghinaan atau pencemaran nama baik adalah salah satu kasus yang banyak dilanggar netizen saat menggunakan media sosial, padahal hal itu merupakan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan 45 ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008. Sejak UU ITE diresmikan, jumlah pelaku tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama di Indonesia yang melibatkan pengguna internet makin meningkat. Data aptika kominfo.go.id (17/9/2022), pada tahun 2016, ada 16 kasus ITE. Di tahun 2017, kasus ITE meningkat dengan total 48. Kasus ITE masih meningkat di tahun 2018 dengan 96 kasus. Di tahun 2019, mencapai 170 kasus. Di tahun 2020, jumlah kasus ITE mencapai angka 217. Sementara baru di kuartal I tahun 2021, kasus ITE sudah mencapai 108 kasus.

Baca juga:  Saraswati, dari Ritual Menuju Intelektual

Untuk itulah kemudian, mari kita bergerak bersama menggelar Pemilu yang akan datang mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah, jujur, adil, berintegritas dan mampu membawa Indonesia semakin maju dan sejahtera. Menjaga pemilu tahun 2024 dengan menolak money politik, menangkal hoaks, melawan politik identitas, jangan membenci, membuli dan mencaci karena berbeda pilihan politik. Mari bersatu untuk Indonesia yang demokratis, berdaya dan sejahtera.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN