DENPASAR, BALIPOST.com – Pada November 2022, Bali mengalami inflasi sebesar 0,28% (mtm) atau 6,62% (yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional (0,09% mtm), namun lebih rendah dibandingkan November 2021 sebesar 0,63% (mtm). Hal tersebut utamanya disebabkan oleh harga cabai rawit dan cabai merah yang masih mengalami penurunan pada November 2022.
Hal itu diungkapkan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali Trisno Nugroho. Penurunan ini seiring dengan upaya pemerintah dalam mengendalikan harga pangan, seperti intensitas operasi pasar yang sangat masif secara disagregasi. Kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 0,26% (mtm), setelah pada bulan Agustus – Oktober 2022 berturut-turut mengalami deflasi.
Inflasi volatile food terutama didorong oleh kenaikan harga bawang merah, sawi hijau, tomat, dan sawi putih seiring dengan tingginya curah hujan yang berpengaruh terhadap penurunan produksi. Namun demikian, laju inflasi kelompok volatile food tertahan oleh penurunan harga cabai rawit dan cabai merah akibat pasokan yang masih tinggi.
Inflasi core inflation meningkat dari 0,24% (mtm) pada bulan sebelumnya menjadi 0,42% (mtm). Meningkatnya core inflation terutama disebabkan oleh kenaikan harga canang sari seiring dengan peningkatan permintaan untuk upacara keagamaan ditengah penurunan produksi bunga pada musim hujan. Selain itu, harga emas perhiasan juga meningkat akibat kenaikan harga emas global dan pelemahan nilai tukar Rupiah.
Sementara itu, kelompok administered prices (AP) mengalami deflasi sebesar -0,22% (mtm), lebih rendah jika dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 0,60% (mtm). Deflasi disebabkan oleh penurunan tarif angkutan udara didorong oleh masa liburan low season, penurunan tarif kendaraan roda 4 online, dan normalisasi tarif transportasi pasca kenaikan harga bahan BBM.
Pada Desember 2022, sesuai dengan pola historisnya, tekanan inflasi di Provinsi Bali perlu diwaspadai. Terjadinya peningkatan jumlah wisatawan yang berlibur pada akhir tahun, peningkatan intensitas upacara keagamaan turut mempengaruhi inflasi bulan Desember. Demikian pula penurunan produksi padi dan komoditas hortikultura (bawang merah, cabai, tomat) seiring dengan berakhirnya musim panen, serta kenaikan harga pupuk non subsidi mempengaruhi inflasi Volatile Food.
Dikatakannya, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali senantiasa melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan harga dan ketersediaan pasokan. Di samping itu, penyelenggaraan operasi pasar yang lebih intensif juga akan terus dilakukan. Peningkatan Kerja sama Antar Daerah (KAD) terus diperluas untuk memenuhi kebutuhan pasokan pangan. Lebih lanjut, peningkatan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) untuk komoditas beras, serta pemanfaatan anggaran dari Biaya Tak Terduga (BTT) APBD untuk program pengendalian inflasi di Provinsi Bali juga akan dilanjutkan.
Sementara itu Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam sebuah webinar yang dipantau di Denpasar, Senin memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berkisar 4,5 persen sampai 5,3 persen secara tahunan pada 2023.”Dan akan naik menjadi 4,7 sampai 5,5 persen pada 2024. Selain ekspor, konsumsi dan investasi juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kita,” kata Perry dalam webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia itu.
Ia mengatakan hilirisasi komoditas sumber daya alam (SDA), pembangunan infrastruktur, Penanaman Modal Asing (PMA), dan bergeraknya sektor pariwisata juga akan menjadi penopang perekonomian pada 2023.
Adapun inflasi pada tahun depan dibidik kembali ke sasaran 3 plus minus 1 persen dengan inflasi inti kembali ke bawah 4 persen pada semester I 2023. “Pada 2024 tentunya akan lebih turun lagi ke dalam sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen. Ini hasil koordinasi erat antara subsidi energi pemerintah, kenaikan suku bunga BI yang terukur, stabilitas nilai tukar rupiah, dan koordinasi tim pengendali inflasi,” imbuhnya. (Citta Maya/kmb/balipost)