DENPASAR, BALIPOST.com – Lembaga Perkreditan Desa (LPD) milik krama desa adat di Bali belakangan ini cukup banyak yang terancam kolaps. Bahkan ada beberapa LPD yang tersandung kasus hukum karena pengurusnya. Kondisi ini pun mengemuka dalam Sarasehan: Peluang dan Tantangan LPD Bali Era Bari yang diselenggarakan Kelompok Media Bali Post di ISI Denpasar, Selasa (13/12).Sarasehan ini didukung Bank BPD Bali, Sampoerna Untuk Indonesia, Sri Partha Group, BKS LPD Bali, Pelindo, dan ISI Denpasar.
Kepala Bidang Pembinaan Perekonomin Desa Adat Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali, Ni Luh Putu Seni Artini, mengatakan dari 38 tahun perjalanan LPD ada 1.437 LPD yang ada di desa adat di Bali. Hanya 56 desa adat yang belum memiliki LPD.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini ada permasalahan dihadapi sejumlah LPD. Total ada 37 LPD bermasalah yang sudah berurusan dengan aparat penegak hukum.
Bahkan, saat ini tidsk hanya aparat penegak hukum yang sedang melirik LPD, namun KPK juga sudah memberikan atensinya kepada permasalahan LPD. Oleh karena itu, Dinas PMA Bali telah membentuk tim khusus pengawasan LPD untuk mencegah kemungkinan bertambahnya permasalahan yang ada di LPD.
Bahkan, sosialisasi pencegahan KKN juga telah dilakukan diseluruh kabupaten/kota se-Bali. Ia mengatakan banyak hal yang dihadapi LPD ke depan. Terutama bagaimana LPD mampu berkompetisi secara sehat dan tidak saling menjatuhkan dengan lembaga keuangan lainnya.
Sebab, selama 3 tahun Dinas PMA Bali mendampingi LPD, ada beberapa permasalahan yang dihadapi LPD. Pertama, sulitnya mendapatkan SDM pengelola LPD yang berkompetensi, terutama di LPD yang secara geografis letaknya dipedalaman. Sehingga, sulit dijangkau teknologi dan informasi.
Selain itu, integritas SDM mulai merosot, sehingga banyak terjadi kecurangan dalam mengelola LPD. Sebab, LPD yang bermasalah kebanyakan dari LPD besar dan memiliki SDM yang luar biasa. Kedua, yaitu lemahnya sistem pengawasan internal LPD, dan ketiga, regulasi pengaturan LPD. Dimana dari 1.493 Desa Adat, baru 400 Desa Adat yang memiliki hukum adat berupa perarem untuk pengaturan LPD.
Sementara itu, pengamat Ekonomi, Prof. Dr. I Wayan Ramantha, SE.,MM.,Ak., mengatakan LPD diakui sebagai lembaga keuangan berbasis masyarakat yang berada di luar Lembaga Keungan Mikro (LKM). Sehingga, LPD menjadi lembaga keuangan yang dikecualikan dari UU LKM.
Dengan demikian LPD tidak bisa diawasi oleh OJK. Oleh karena itu, terkait isu bahwa LPD akan diawasi oleh OJK, Prof. Ramantha menegaskan bahwa tidak ada pengambilalihan LPD oleh OJK.
Hanya saja OJK intens membantu Gubernur Bali memberi saran dan masukan untuk kemajuan LPD ke depan. “Tidak bakalan ditangani oleh OJK, karena LPD bukan lembaga keuangan yang cocok diawasi OJK, sebab dalam peraturan mengenai lembaga keuangan, LPD dikecualikan,” tegas Prof. Ramantha.
Prof. Ramantha, mengatakan saat ini yang menjadi pembahasan dalam peluang dan tantangan LPD ke depan yaitu evaluasi LPD serta peninjauan terkait Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang LPD. Tidak ada membahas soal pengambialihan oleh OJK.
Dikatakan, dalam evaluasi dan peninjauan terkait Perda dan Pergub tentang LPD, pengurus LPD harus aktif membahas isu dan persoalan yang ada. Dengan demikian akan bisa turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan termasuk dalam penetapam Perda dan Pergub.
Praktisi dan Konsultan Bisnis Ekomomi, Viraguna Bagus Oka menambahkan, ketika ada aspek hukum mengenai LPD, desa adat harus bergerak cepat mengawal dan menjaga LPD. Menurutnya, ketika dalam operasional LPD terutama penghimpunan dana masyarakat keluar dari desa adat akan menjadi hal yang membahayakan.
Selain itu, penghimpunan dana di LPD yang bebas dari pajak membuat banyak masyarakat tidak mendapat informasi dengan jelas dan transparan. Untuk itu, dia menyarankan agar LPD memiliki pengawas yang memiliki fungsi independen. “Jika tidak dikelola secara benar, dan perangkat pengawasan tidak dengan baik, maka akan ada permasalahan yang dihadapi,” imbuh Viraguna Bagus Oka.
Kepala Bagian Dana dan Hubungan Kelembagaan Divisi DJA BPD Bali, I Komang Sandhyana Kartika mengatakan ada tantangan yang perlu menjadi perhatian LPD, yakni perbaikan tata kelola LPD, perbaikan Kualitas SDM LPD, dan transformasi digitalisasi LPD. Perbaikan ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kesehatan LPD di Bali ke depannya.
Meski sejumlah tantangan dihadapi LPD ke depan, namun ada peluang besar yang bisa didapatkan LPD untuk penguatan ekonomi krama desa adat dalam menghadapi era baru. Untuk dapat memetik peluang tersebut, LPD mesti membangun kepercayaan atau trust dari krama desa adat.
Kepercayaan ini bisa dibangun mulai dari performa pengurus LPD dan layanan LPD. Salah satunya digitalisasi. “Kalau trust sudah terbangun, masyarakat pasti akan menyimpan dana di LPD, makanya BPD Bali bersinergi dengan LPD turut membangun ekonomi Bali melalui LPD. Cara menjaga trust yaitu transformasi digitalisasi harus dilakukan LPD ke depan. Bahkan layanan di BPD sekarang, pembukaan rekening tidak perlu ke kantor namun bisa lewat digital atau online,” ujarnya.
Ia berharap dapat menjalin sinergi antara LPD dengan BPD Bali. BPD Bali menawarkan technical assistance ke LPD. Dari 1.437 LPD di Bali, baru 45% yang mempergunakan kanal BPD Bali, padahal BPD Bali memiliki fitur lengkap baik purchasing maupun payment.
Saat ini pun BPD Bali sedang melakukan pengembangan kerjasama biller untuk pembayaran kredit agar layanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan. Selain itu, program E-Link BPD Bali juga baru 40% yang dimanfaatkan LPD di Bali. Ia juga mengajak LPD di Bali agar bergabung dengan program E-Link karena ada keuntungan pembagian MDR yang juga bisa menjadi potensi fee base income antara LPD dan BPD Bali.
Dengan demikian, menurutnya LPD bersinergi dengan Lembaga Keuangan, seperti BPD Bali akan mampu menguatkan peran dari LPD di desa adat. Apalagi BPD Bali telah memiliki teknologi yang bisa diadopsi oleh LPD di Bali untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat desa.
Per Oktober 2022 hampir Rp 25 triliun aset beredar di LPD. Jumlah ini tentu menjadi peluang untuk pengembangan ekonomi di desa adat. Apalagi, dari 4,3 juta penduduk Bali hampir 8.000 lebih menjadi karyawan LPD.
Penasihat Sri Partha Group, I Wayan Gatha mengatakan nama Lembaga Perkreditan Desa sangat sakral, sehingga tidak perlu diubah. Namun, tata kelolanya bisa diperbaiki untuk menjadi yang lebih baik. Terutama struktur organisasi dalam LPD perlu ditambah, yaitu satuan pengawasan intern di bawah ketua LPD.
Satuan pengawasan intern ini sangat penting untuk mengaudit dan memeriksa sebelum dan setelah terjadinya transaksi di LPD. Dengan harapan tidak ada lagi kasus yang menjerat LPD ke depannya. Paling tidak meminimalisir kasus LPD.
Selain itu, Wayan Gatha juga mengusulkan agar susunan Baga-Baga Kertha Desa yang ada di desa adat agar dimanfaatkan dalam LPD untuk mengawasi dan mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada di LPD. “Marilah kita semua, terutama jro bendesa, ketua LPD, dan pengawasnya tolong perhatikan ini, kita sangat bersyukur sekali di desa adat masing-masing sudah mempunyai LPD. Apalagi, roh LPD masih ada sampai saat ini yang memiliki banyak manfaat bagi krama desa adat,” tandas Wayan Gatha.
Sementara itu, Kepala Badan Kerja Sama (BKS) LPD Bali Drs. I Nyoman Cendikiawan S.H.,M.Si. mengatakan beragam tantangan dihadapi LPD saat ini. LPD tidak anti dengan perunahan zaman. Hanya saja harus disesuaikan dengan subtansi perubahan yang dibutuhkan sesuai dengan kajian.
Sebab, berbicara soal LPD tidak saja tentang saat ini, melainkan ada historis di masa lalu yang turut diperhatikan. Dalam menghadapi setiap situasi, LPD dikatakannya sudah selalu survive. Di sisi lain, transformasi digital dan yuridis juga akan diikuti. (Winatha/Widi/balipost)