Rumawan Salain. (BP/dok)

Oleh Putu Rumawan Salain

Tahun 2022 ini Pulau Bali yang indah, disebut juga Pulau Dewata ataupun sorga terakhir mengalami bencana alam berupa banjir. Banjir tersebut tidak hanya merusak sawah, ladang, rumah, jalan, jembatan hingga nyawa. Kawasan yang terdampak banjir terluas sepertinya terjadi di Kabupaten Jembrana.

Dari berita dan video yang dilihat dan didengar banjir berlangsung di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Ada sumber yang menyebutkan banjir terjadi 494 titik. Kejadian tersebut berdampak pada kerusakan yang besar dan luas dan tidak tergantikan ditengah-tengah suasana perekonomian yang baru saja membaik.

Dari video yang terlihat ternyata banyak sekali ada sisa potongan kayu besar yang ikut hanyut. Jembatan juga bisa hanyut, jika struktur pondasi tiang ataupun struktur penyangga jembatan pada salah satu sisi atau di kedua sisi mengalami kerusakan hingga berakibat struktur jembatan hanyut terbawa air atau tenggelam. Dari beberapa contoh tersebut diatas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa air perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Sifat air setidaknya dikenal ada empat M yaitu : mengalir, menggenang, meresap, menguap. Ke empat sifat inilah yang dikelola dengan baik dan diintegrasikan, mirip dengan manajemen transportasi.

Dari data yang pernah diperoleh bahwa Kabupaten Jembrana pernah memiliki bendungan terbesar di Bali, namun akhir-akhir ini senyap dari pemberitaan. Jika saja perencanaan dam dimaksud dirancang untuk persinggahan jalur air, logikanya kejadian banjir dapat terkendali setidaknya untuk beberapa wilayah terdekat. Revitalisasi dam tersebut menjadi penting dimasa mendatang yang dapat digabungkan atau dilengkapi fasilitas yang terintegrasi antara konservasi air, pariwisata, rekreasi, edukasi, dan lainnya. Dengan kata lain di Barat (Jembrana) ada Pusat Budaya Air sedangkan di Timur (Klungkung) ada Pusat Kebudayaan Bali.

Baca juga:  Dilematika Pekerja Luar Negeri

Perubahan pemanfaatan fungsi lahan karena keperluan pembangunan sering tidak diikuti dengan perubahan saluran irigasinya. Dalam RTRWP Bali dengan jelas luas hutan belum memenuhi standar luasan yang direncanakan diikuti pula oleh pembabatan (dikhawatirkan tanpa izin); sehingga perlu diadakan pembuatan peta data hutan yang valid  dan jelas antara hutan lindung dan yang bukan. Pengawasan perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi setara dengan CCTV sehingga dapat dimonitor sampai dengan alat sekelas telepon genggam.

Banjir beberapa minggu lalu membuktikan bahwa di Jembrana diduga terjadi pembabatan liar. Perbuatan tersebut diatas baik oleh orang perorang, kelompok, diorganisir atau tidak, telah berakibat kerugian materiil dan nyawa yang sangat besar dan tidak tergantikan. Diharapkan mendatang tidak lagi terulang kejadian yang sama. Di samping terjadinya pembabatan hutan oleh karena alih fungsi (untuk permukiman, perumahan, perkebunan, jalan, dan lainnya) maupun karena illegal logging, banjir juga dapat berlangsung akibat beralihnya fungsi lahan persawahan hingga mengubah pula alur irigasinya. Luas bidang permukaan sawah, jalur irigasi yang tidak terhubung dapat melimpahkan volume air secara liar dan mengalir ke wilayah yang rendah hingga sampai di sungai.

Mengingat penting dan perlunya lahan sawah, pemerintah telah menetapkan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) sebagai bukti keseriusannya yang dasar hukumnya dapat dilihat pada Perpres Nomor 59 Tahun 2019. Artinya keberadaan sawah wajib dilindungi setidaknya untuk mendukung kebutuhan pangan. Keberadaanya juga wajib mendapat aliran air yang memadai dengan saluran irigasi yang tidak terputus atau berpindah sehingga berdampak banjir. Jika diterapkan dengan baik dan benar bagi Bali sangat bermanfaat dalam melestarikan budaya air “agraris” sekaligus dengan budaya subak-nya. Untuk diingat bahwa Subak bukan hanya sekadar organisasi para petani, tetapi didalamnya tersimpan tata kelola air yang telah terbukti keandalannya.

Baca juga:  Bencana Landa Gilimanuk, Dua Pelinggih Ambruk dan Belasan Rumah Kebanjiran

Penyebab lainnya dari banjir adalah sampah. Beragam sampah berupa daun, ranting hingga batang pohon maupun bambu, berbagai benda plastik, bantal hingga kasur dihanyutkan atau terhanyut oleh para pihak. Jika tidak tersandung di beberapa titik sungai akhirnya meluber memenuhi pantai seperti yang terlihat di pantai Kuta. Tidak jarang juga ada sampah plastik yang dibuang dilaut oleh kapal akhirnya merapat ke tepi pantai (baca juga perihal Marine Debris).

Keunikan Bali sebagai penghasil sampah adalah besarnya timbulan sampah organik yang bersumber dari sisa-sisa upacara adat maupun agama. Sampah jenis tersebut diatas ikut berkontribusi untuk menghambat saluran air jika dibuang di sungai atau jalur irigasi bahkan ada yang memanfaatkan drainase kota. Sampai dengan saat ini di Bali masih memanfaatkan jalur irigasi dan drainase dalam satu kesatuan.

Banjir juga dapat diakibatkan oleh padatnya hunian di perkotaan. Kepadatan tersebut tidak diimbangi oleh pembangunan perumahan dan atau permukiman yang terintegrasi dengan jaringan infrastruktur khususnya jaringan jalan dan drainase kota. Keadaan tersebut diperparah lagi oleh ruang terbuka atau halaman rumah ditutup dengan perkerasan sehingga air kurang meresap dan mengalir ke luar halaman atau ke jalan. Disamping banyak juga warung-warung yang dibangun dengan emperan membuat atap tanpa talang, sehingga limpahan air air hujan dari atap jatuh ke badan trotoar atau jalan. Akumulasi air tersebut memenuhi jalan sehingga terkesan bagaikan sungai. Jika got yang ditutup untuk pedestrian di kiri-kanan jalan dipenuhi sampah maka banjir di perkotaan tidak dapat dihindari.

Baca juga:  Mesti Saling Mendukung dan Berkembang

Intinya adalah bahwa banjir akan terjadi jika daya tampung maupun saluran air karena hujan melebihi kapasitasnya. Kemudian banjir dapat saja terjadi karena durasi maupun intensitas hujan yang panjang dan lebat. Banjir juga dapat saja terjadi ketika manajemen sirkulasi perjaan air melalui hambatan baik oleh karena sampah ataupun juga salah dalam mengatur pintu air sehingga air dapat saja menggenangi areal disekitar wilayahnya. Untuk diperlukan perencanaan yang menyeluruh, terintegrasi, atas data-data yang terbaru dan selalu di-update, dibantu dengan teknologi canggih untuk merekam situasi real time. Di lapangan membangun pengertian yang mendalam tentang Wana Kertih, menerapkan aturan dengan tegas, dan meningkatkan pengawasan maupun pemanfaatan hutan. Selamatkan hutan untuk masa depan anak-cucu. Air adalah berkah namun dapat menjadi masalah jika tidak dikelola dengan baik dan benar.

Penulis, Guru Besar Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *