Dialog Merah Putih Nangun Sat Kerthi Loka Bali pada Rabu (21/12). (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pengesahan UU KUHP awal Desember lalu sempat menuai konflik. Terutama mengenai pasal 411 dan 412 tentang perzinahan dan kumpul kebo. Namun isu tersebut telah mereda karena manajemen komunikasi yang dilakukan stakeholder pariwisata dan pernyataan Gubernur Bali soal jaminan berwisata di Bali. Masyarakat diminta tak perlu risau pasal KUHP akan menganggu pariwisata Bali.

Berkaca dari pengalaman tersebut, maka Bali mesti membentuk manajemen komunikasi untuk mengantisipasi masalah serupa. Terutama berkaitan dalam pencapaian visi dan misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yaitu poin 13 – 15 yaitu, mengembangkan destinasi dan produk pariwisata baru berbasis budaya dan berpihak kepada rakyat yang terintegrasi antar kabupaten/kota se-Bali, meningkatkan promosi pariwisata Bali di dalam dan di luar negeri secara bersinergi antar kabupaten/kota se-Bali dengan mengembangkan inovasi dan kreatifitas baru, dan meningkatkan standar kualitas pelayanan kepariwisataan secara konprehensif. Demikian terungkap dalam Dialog Merah Putih Nangun Sat Kerthi Loka Bali pada Rabu (21/12) di Warung Coffee Bali 63, Jalan Veteran, Denpasar.

Baca juga:  Bandara Ngurah Rai Ubah Alur Penjemputan di Terminal Domestik

Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Dr. Yoga Iswara mengatakan, tidak berdampak signifikan pada tingkat kunjungan wisatawan namun diakui tiga hari pascaUU KUHP disahkan banyak pertanyaan yang muncul dari tamu atau calon wisatawan terkait pemberitaan pada media asing.

Ia menyoroti pemberitaan yang dilakukan oleh media asing lebih mengarah pada misleading atau mispersepsi yang berdampak pada multi tafsir masyarakat global. “Di sini peran kita memberi informasi seakurat mungkin agar informasi yang viral tersebut bisa diredam dan ditenangkan,” ujarnya.

Padahal setelah membaca secara utuh UU KUHP tersebut justru mengatur lebih tegas. UU KUHP menurutnya perbaikan dari UU sebelumnya yang mana aturannya merupakan aturan existing bahkan aturan pada UU KUHP terbaru ini lebih diperbaiki.

“Jadi Ada kekhususan delik aduan absolut sehingga tidak sembarang orang bisa mengajukan aduan , informasi ini menjadi salah tafsir. Jadi tiga hari pertama itu memang berat, seperti menghadapi resesi, informasinya simpang siur, tamu yang menginap mempertanyakan,” bebernya.

Namun secara garis besar stakeholder pariwisata kompak bersatu menghadapi isu ini dengan komunikasi, membuat pemahaman persepsi bersama dan memberi informasi pada wisatawan. Bahkan dukungan press rilis dari Kementerian Pariwisata, statemen yang kuat dari Gubernur Bali bahkan ada jaminan wisatawan tidak perlu khawatir datang ke Bali. Sehingga segala upaya komunikasi tersebut cukup menenangkan hingga tak ada pertanyaan lagi dari wisatawan dan tak lupa informasi tersebut juga disampaikan pada media media asing.

Baca juga:  Masih Ringan, Ancaman Pidana di Ranperda Kepariwisataan

Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Made Mendra Astawa mengatakan, komunikasi dengan pengelola desa wisata seluruh Bali segera dilakukan untuk meng counter isu tersebut. Ia memanfaatkan media WhatsApp Group untuk memberikan informasi pada seluruh desa wisata di Bali.

Meski demikian, desa wisata tidak perlu mengkhawatirkan isu tersebut sebagai penyebab menurunnya tingkat kunjungan ke desa wisata karena desa wisata menurutnya berada pada level tiga. Jika pada level pertama seperti penerbangan atau hotel di daerah selatan, wisatawan sudah mendapat informasi yang baik maka ketika ke desa wisata, wisatawan akan merasa nyaman.

Bercermin dari pengalaman ini menurutnya suatu negara harus memiliki Public Relation (PR) yang bagus agar dinamika yang terjadi di Indonesia dapat diinformasikan dengan baik pada masyarakat global. “Kita bisa lihat ketika UU KUHP ini disahkan, terlihat informasinya digoreng oleh media media asing. Tidak heran karena pariwisata Bali berkembang pesat bahkan sektor pariwisata menghasilkan devisa terbesar dan hal ini tentu menimbulkan persaingan. Lewat isu ini, pesaing Bali memanfaatkan peluang untuk mengalihkan berliburnya ke negara lain,” ujarnya.

Baca juga:  BRI Tekankan Pentingnya Transformasi Berbasis Teknologi

Akademisi Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. Putu Anom menegaskan bahwa ada etika yang mesti dijaga pada wisatawan dan etika ini berlaku secara global yaitu tidak boleh mempertanyakan sesuatu yang mengarah ke ranah privasi atau pribadi. Misalnya apakah sudah menikah, apakah teman anda adalah pasangan sah dan hal hal pribadi lainnya.

Ia berharap pemerintah tegas terhadap masalah komunikasi seperti ini. Ia berharap eksistensi sektor pariwisata tetap terjaga karena sektor ini merupakan sektor modern yang beri peluang bagi masyarakat, pemerintah memperoleh income dan peluang kerja. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN