Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Terlahir sebagai perempuan dan menjadi ibu adalah sebuah kehormatan, karena dari rahim ibu lah generasi penerus akan terlahir, bertumbuh, dan berkembang. Bagi perempuan yang memutuskan untuk menikah, mengandung dan melahirkan menjadikannya sebagai perempuan yang utuh, karena salah satu kodrat perempuan terlahir untuk misi tersebut.
Untuk sampai ke tahap menjadi ibu, semua perempuan yang menikah tersebut perlu proses. Ada yang aberproses cepat, ada pula berproses lambat, atau bahkan setelah lama berproses dengan berbagai cara, tetap gagal mencapai tujuan.
Seiring dengan waktu berproses tersebut, banyak tantangan dan bahkan perundungan (bullying) bisa terjadi, yang dilakukan oleh sesama perempuan, entah ditujukan secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Kalimat-kalimat menghakimi seperti “Kok lama kali belum hamil?” “Sudah lama menikah, kok belum ada momongan?” “Si A baru saja nikah, sudah punya anak lho.” “Ibu B, anak-anaknya semua cewek, apa tidak ingin
punya anak cowok lagi ya? dan berbagai kalimat senada lainnya sering terlontar saat para perempuan atau ibu berkumpul dalam sebuah pertemuan.
Seolah semua kalimat itu sebagai ajang untuk membuka komunikasi yang sewajarnya. Bila ditelisik lebih dalam, tampaknya masyarakat sangat getol mencermati masalah pribadi orang lain. Mau
seorang perempuan cepat hamil atau sudah lama menikah namun belum hamil, itu semua adalah masalah orang lain, masalah pribadi, bukan masalah publik.
Jadi tidak selayaknya kita menghakimi dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menyudutkan.
Dalam sebuah komunikasi, para komunikator hendaknya saling menjaga privasi seseorang.
Komunikasi tidak boleh sampai menyinggung perasaan orang yang diajak berkomunikasi. Contoh kalimat-kalimat di atas kurang elok diujarkan karena dapat
meruntuhkan mental seorang perempuan yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan juga.
Kalimat-kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai perundungan oral, karena menyakiti perasaan seorang perempuan. Dalam sebuah teori komunikasi
ditegaskan bahwa seseorang dianggap memiliki kompetensi berkomunikasi bila secara kebahasaan kalimat yang diungkapkan menggunakan kata-kata yang benar, tepat dan berterima secara sosial, serta
sesuai konteks.
Kalimat-kalimat di atas secara gramatika tampak benar, karena menggunakan kosakata dan susunan yang benar, namun kurang tepat atau kurang elok untuk
disampaikan di depan publik. Perempuan mana dapat menerima ujaran-ujaran seperti itu, bila yang bersangkutan memang sudah mengusahakan yang terbaik, namun masih belum berhasil.
Tentu semua usaha yang dilakukan tidak perlu dikonsumsi publik. Seolah kekurang keberhasilan
menjadi sebuah momok.
Secara sosial kalimat-kalimat tersebut juga kurang berterima, karena hal-hal yang tampak hanya basa-basi dan remeh-temeh dapat berdampak negatif yaitu hubungan pertemanan yang kurang nyaman, karena ada ganjalan di hati. Bukan hanya itu, perempuan yang sering mendengarkan kalimat-kalimat tersebut juga dapat mengalami gangguan mental seperti stress dan depresi, terutama bila mereka merasa diolok-olok, dipermalukan, dan dipersalahkan sehingga terus kepikiran dan akhirnya menyebabkan gangguan psikologis.
Kalimat-kalimat yang dilontarkan mestinya lebih kontekstual, yaitu disesuaikan dengan tujuan atau ajang pertemuan tertentu. Dengan mengetahui konteks pertemuan, para komunikator dapat memilih ekspresi-ekspresi bahasa yang relevan dengan situasi dan kondisi saat itu. Bukan malah mengangkat topik yang sensitif, meski tampak basa-basi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mempunyai keturunan (mengandung dan melahirkan anak) adalah harapan semua perempuan yang telah menikah dan berkeluarga. Semua itu tidak terjadi secara instan. Semua itu perlu proses, usaha, dan kesabaran disertai doa.
Tidak semua bisa berjalan mulus seperti yang kita harapkan, karena itu adalah kuasa Yang di Atas (anugerah Tuhan). Manusia hanya bisa merencanakan, dan hanya Tuhan yang memutuskan.
Strategi komunikasi harus diperhatikan oleh para perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya agar apa yang disampaikan tidak berbau menghakimi dan merendahkan, serta menyakiti seseorang. Karena apa yang terlihat remeh-temeh tersebut dapat dikategorikan sebagai perundungan, yang juga dapat berdampak pada gangguan sosial dan psikologis.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, mari kita lebih memperhatikan diskursus kita dalam berkomunikasi. Agar apa yang kita sampaikan bukan hanya benar secara struktural kebahasaan, namun juga berterima secara sosial dan kontekstual.
Penulis dosen di Undiksha