Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Istilah milenial, disebut juga generasi Y, pertama kali dicetuskan tahun 1991 oleh Neil Howe dan William Strauss dalam bukunya “Generations”. Generasi milenial disebutkan, memiliki karaktersitik lebih individual, materialistis, memiliki pemikiran terbuka, rasa percaya diri tinggi, sosok pribadi liberal, optimistis, selain egois dan narsis.

Lebih spesifik lagi, generasi milenial akrab dengan perangkat teknologi — informasi dan komunikasi — berbasis digital, seperti gadget. Sampai kemudian
sebuah studi tahun 2012 yang diterbitkan oleh
Livescience menunjukkan bahwa generasi milenial menghabiskan delapan puluh lima persen (85 %) waktunya menggunakan gadget.

Jika filsuf Rene Descartes berkata cogito ergo sum – aku berpikir maka aku ada, sedangkan generasi milenial berkilah “gadgetku membuat aku ada” – eksis, bahkan narsis. Perkembangan berikut, generasi milenial larut masuk ke dalam pusaran, tepatnya permainan gadget yang sejatinya berada di dunia maya.

Jadilah saat ini dunia nyata dikuasai dunia maya di jagat
mayapada. Sehingga apa yang sebenarnya tidak nyata (maya-maya) seringkali dianggap nyata, sebagai suatu kenyataan. Makna kata ‘dunia maya’ itupun, selain menggambarkan kesemuan (saru gremeng), sekaligus juga mengandung potensi kepalsuan, sering juga disebut dunia tipu-tipu yang tak jarang mengarah ke kejahatan.

Baca juga:  Bersainglah dengan Sriwijaya dan Majapahit

Persis seperti dikatakan Baudrilliard dalam teori Hyperreality dan Simulation yang mengacu pada alam nyata dan tidak nyata (fana). Hiperrealitas merupakan suatu bentuk situasi dan kondisi dimana manusia tidak bisa lagi mem￾bedakan antara kenyataan dan fantasi. Sedan￾gkan Simulasi (simulation) adalah penciptaan
kenyataan melalui model relasi sosial yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
dalam kehidupan nyata.

Tentang dunia maya ini, Hinduisme mengenal konsep Maya Tattwa, yang berarti ilmu pengetahuan (jnana) tentang khayalan atau sesuatu yang tidak nyata. Maya Tattwa adalah hakikat hidup yang tidak berkesadaran, tentang segala sesuatu yang bersifat semu, tidak kekal dan selalu mengalami perubahan. Alam semesta beserta isinya inipun dikatakan bersifat maya, tidak lepas dari perubahan.

Hanya Tuhanlah yang bersifat abadi, selain itu, semuanya bersifat maya. Persoalannya, obsesi mencapai Tuhan kekal abadi, di saat masih berada di jagatmaya ini, ternyata tak henti digerogoti dunia maya.
Muncullah kemudian beraneka rupa gaya hidup milenial bernuansa maya-maya di dunia nyata.

Baca juga:  Virus Corona dan Sejarah di Bali

Termasuk dari kalangan yang sta￾tusnya sudah “maraga lingsir” yang disebut Sulinggih. Hadirlah kemudian Sulinggih era milenial bermedsos-ria lewat penggunaan gadget (handphone, tablet, smartphone) dengan berbagai fitur, aplikasi atau platform yang masuk ke dalam perangkat media sosial (medsos). Entah itu melalui Facebook, Whatshap, Instagram, Twitter, Tiktok atau yang makin ngetrend belakangan, terlibat aktif sebagai Youtuber, secara intens menampilkan berbagai konten andalan.

Salah satu motifnya menambah raihan viewer, follower, like, suscribe, komen lalu di-share ke berbagai platform medsos, dengan harapan mendapatkan imbal finansial. Sebagai media informasi, tentunya medsos membuka ruang komunikasi, semisal lewat komen yang ternyata setelah dicermati tidak semua sependapat, apalagi memuji. Tak jarang yang didapat justru ejekan, cacian atau hujatan, bahkan hinaan.

Bagaimana jika hal ini dialami seorang Sulinggih yang “maraga suci”. Bukankah dapat mencemari, mengotori atau menodai kesuciannya (cemer/leteh)? Jangan sampai maksud hati memberikan pelayanan kepada umat dalam bentuk pencerahan misalnya, justru yang terjadi membuat pengguna medsos (nitizen) kegerahan atau malah memantik kemarahan.

Baca juga:  Urgensi Pendidikan Nilai

Mengingat adanya perbedaan karakteristik, tingkat pengetahuan/pemahaman dan kematangan jiwa pengguna medsos. Jika kenyataan pahit ini terjadi, apa yang harus dilakukan dan bagaimana upaya pemulihan atas penodaan kesucian Sulinggih yang sebenarnya disebut juga sebagai “sang maraga putus”. Artinya sudah memutuskan tali ikatan dengan hasrat penyaluran indria-duniawi, termasuk berselancar di dunia medsos yang bersifat maya-maya.

Terlalu riskan dan berisiko tinggi menodai kesucian Sulinggih. Belum lagi jika oleh karena pernyataan (kata/kalimat) atau foto/gambar yang diunggah/diposting dalam medsos menimbulkan ketersinggungan atau dianggap sebagai bentuk perbuatan tidak menyenangkan atau mencemarkan nama baik seseorang, tentunya berpotensi tersandung UU No. 19 Th. 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Th. 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa saja berujung pengenaan pasal pidana dan atau perdata.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN