Oleh I Gusti Ketut Widana
Selama ini, umumnya umat Hindu (Bali) hanya mengenal dan melaksanakan dua jenis Sugihan : Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Itupun terkesan bisa memilih dan menentukan salah satunya, mau melaksanakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali.
Sebenarnya ada satu lagi Sugihan yang bahkan pelaksanaannya mendahului, yaitu Sugihan Pangenten, dilaksanakan pada Budha Pon wuku Sungsang, lalu menyusul Sugihan Jawa pada Wrespati Wage wuku Sungsang dan Sugihan Bali pada Sukra Kliwon wuku Sungsang. Untuk Sugihan Pangenten sendiri bermakna sebagai pengingat (ngentenin = tangi) kepada umat agar bersiap menyongsong hari suci Galungan — otonan gumi (odalan jagat).
Perihal Sugihan Jawa-Bali, ada tiga versi pemaknaannya. Pertama, secara historis, dengan mengutip lontar Purana Bali Dwipa, ternyata berkaitan : “Pemasukan pajak hasil bumi dari luar pulau Bali yakni Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan, yang dibawah kekuasaan baginda raja di Bali, diupacarakan pada Wrespati Wage wuku Sungsang yang merupakan hari Sugihan Jawa.
Khusus bagi penduduk Bali asli, upacara dilaksanakan pada Sukra Kliwon wuku Sungsang yang merupakan hari Sugihan Bali…”. Kedua, secara sosiologis, dikaitkan dengan umat yang melaksanakan Sugihan. Sugihan Jawa, dilaksanakan umat Hindu yang berasal atau merupakan trah wong Majapahit, sekarang menjadi bagian mayoritas dari krama Hindu di Bali. Sedangkan Sugihan Bali, dilakukan umat Hindu keturunan wong Bali Mula atau Bali Aga yang sudah eksis sebelum mendapat pengaruh Majapahit.
Tambahan lagi, istilah “Jawa & Bali” pada rerainan Sugihan, sebenarnya terkait kelaziman orang Bali yang lumrah menyebutkan sesuatu yang bersifat “keluar/diluar” dengan sebutan “Jawa” (bhs Bali : Jaba). Di masa lalu, jika orang Bali pergi keluar daerah, seringkali dikatakan “luas ke Jawa”, padahal bisa saja perginya ke luar Jawa, misalnya Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dll. Kebalikan istilah “Jawa/Jaba” (keluar/diluar) adalah “Bali” (wali/mewali : kedalam), kembali pada diri sendiri.
Dari sini baru kemudian muncul tafsiran ketiga, yaitu secara filosofis, Sugihan Jawa dimaknai sebagai moment pembersihan (sugi/mesugi) di luar diri manusia yang tiada lain bhuwana agung (dunia beserta segala isinya), sementara Sugihan Bali berhubungan dengan momentum penyucian (suci) diri, lahir bathin – wahya adyatmika.
Jika dirangkai, ketiga Sugihan dimaksud mengandung nilai adiluhur : Sugihan Pangenten membangunkan kesadaran (tangi) umat, lalu Sugihan Jawa membersihkan alam (sugi) hingga mengerucut pada Sugihan Bali — penyucian (suci) diri. Persoalannya, sudahkah umat Hindu “metangi” (sadar) akan tanggungjawab mengemban misi membersihkan alam dari pengaruh egoisme (ahamkara) manusia yang cenderung lebih suka “membersihkan” (eksploitasi) sumber daya hayati. Lantaran belum sucinya pikiran yang justru menimbulkan hasrat “menyucikan” segala tindakan demi mencapai tujuan, lalu “cuci tangan” akibat terkontaminasi ala (keburukan) dan mala (kekotoran), yang bisa saja mendatangkan malapetaka bagi kehidupan.
Sloka Bhagawadgita, III.14, mengingatkan “Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, dan adanya yadnya karena karma”. Artinya, kesemua bentuk kegiatan yadnya, termasuk Sugihan Pengenten-Jawa-Bali di atas, tidak boleh berhenti pada tingkatan ritual simbolik ekspresif berbasis meterialistik (sesaji/bebanten). Ada kewajiban lanjutan dan tangungjawab moral, bahkan bernilai agung dalam konteks ekologi, yaitu mengkreasi “karma” dalam berbagai bentuk perilaku mengharmoniskan dan melestarikan alam.
Ada capaian tertinggi yang menjadi obsesi setiap perhelatan ritual yadnya yaitu, mengingatkan, sekaligus menyadarkan umat untuk “ke jaba” (keluar) diri, mencermati fenomena alam yang faktanya kian krisis, lalu bergerak lewat aksi nyata mengatasinya agar tidak semakin kritis, apalagi sampai habis. Tentunya dilandasi kesucian hati, lanjut melakukan kontemplasi, bercermin pada Sang Diri (Atman) — percikan sinar suci Brahman, dengan terus berikhtiar membangkitkan kesadaran kosmis bahwa “semua yang ada berasal dari Tuhan” (sarwam khalu idam Brahman), dan semua ini adalah Tuhan itu sendiri (sarwam idham kuthem bhukem).
Pertanggungjawabannya adalah manusia sebagai bhuwana alit (mikrokosmos) secara proaktif wajib senantiasa merawat, menjaga keharmonisan dan kelestarian bhuwana agung (makrokosmos) — alam lingkungan beserta segenap sumber daya hayatinya yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan segenap makhluk di muka bumi ini hingga akhir nanti.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar