I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ag. K. Sudaratmaja

Pertengahan Desember 2022, ada dua kegiatan penting yang penulis cermati di Kabupaten Badung, yaitu Forum Kelitbangan dan Yowana Jumpa Bupati. Pada sesi diskusi di Forum Kelitbangan mencuat pilihan dalam menyikapi sektor pariwisata yang masih menjadi tumpuan pendapatan Badung di 2023. Pilihan tersebut adalah quality tourism, mass tourism atau ambil keduanya karena kita masih dalam masa transisi.

Pernyataan menarik dari Ketua GIPI Bali bahwa quality tourism berupa MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) kegiatannya tidak harus eksklusif di hotel mewah, tapi dengan inovasi dapat kita lakukakan juga di desa, mengingat infrastruktur desa-desa di Badung sudah sangat memadai.

Contoh bahwa pertemuan UNICEF pernah direncanakan akan dilaksanakan di Wantilan Desa Selat, Kecamatan Abiansemal. Selain suasana desanya asri, berdekatan dengan Pura, Puri dan ada TK/PAUD yang relevan dengan tema dan isu-isu UNICEF. Namun sayang, ide brilian membumikan quality tourism tersebut gagal karena adanya pandemi Covid-19.

Baca juga:  Pelajaran Tata Ruang dari Lumajang

Gayung Bersambut

Harus diakui bahwa perhatian Pemerintah Kabupaten Badung selama ini terhadap pembangunan infrastruktur di perdesaan patut diacungi jempol. Sangat mudah dijumpai Balai Banjar, Wantilan, Balai Subak dan fasilitas
publik lainnya berdiri megah di perdesaan Badung. Jalannya pun mulus, dengan penerangan listrik, air bersih, bahkan didukung jaringan internet yang memadai.

Ini adalah aset yang selama ini ‘’tidur’’ yang sebenarnya bisa dikolaborasikan dengan pihak Hotel/EO dengan
demikian manisnya MICE (quality tourism), juga bisa dirasakan masyarakat perdesaan. Pernyataan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) memang menggelitik dan viral yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia rendah, salah satunya karena aset yang kita miliki ada banyak yang masih tidur.

Lahan dibebaskan ribuan hektare kemudian mangkrak tidak dibangun/dimanfaatkan segera, demikian juga gedung mewah dibangun kemudian ditempeli spanduk dikontrakkan, karena dibangun tanpa perencanaan
market yang memadai.

Konon berbeda dengan di negara maju, bahwa setiap investasi akan dituntut hasilnya untuk investasi berikutnya dan demikian seterusnya sampai dengan tiga atau empat level. Ini disebut investasi yang berputar dan bekerja (hard work) walaupun SDM nya biasa-biasa saja.

Baca juga:  Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Batas Indonesia

Lantas bagaimana dengan di Badung sebagai daerah pariwisata, dengan infrastruktur pedesaan yang sudah memadai, lalu apa yang dapat dilakukan? Pertanyaan ini harus disikapi, bahwa ide brilian Ketua GIPI Bali dapat dijawab dengan kolaborasi antara Pemerintah, Pihak Hotel/EO dan masyarakat pedesaan. Pemerintah menyiapkan regulasinya, sehingga pihak Hotel/EO ada ‘’kewajiban’’ berkiprah di desa dan sudah barang tentu
desa juga harus menyiapkan diri untuk berbenah sesuai tuntutan dan potensi yang dimiliki.

Geertz seorang antropolog Amerika mengatakan desa adat dan Subak adalah dua sumber utama budaya di Bali yang tidak pernah kering. Sejalan dengan itu dengan potensi keunikan budaya pedesaan, maka promosi yang dapat diunggulkan dalam rangka
kolaborasi di atas adalah ‘’produk nomor satu atau satu-satunya yang ada di dunia’’ (number one or the only one in the world).

Baca juga:  Bali Belum Optimal Garap Wisata "MICE"

Diskusi aktif Bapak Bupati Badung dalam Forum Kelitbangan, akhirnya juga muncul dalam Forum Yowana Jumpa Bupati. Di mana dalam sambutannya, Bupati Badung menantang generasi muda Badung untuk maju dan kreatif. Silahkan gunakan fasilitas yang kita miliki, termasuk  alai Budaya Giri Natha yang megah ini ujarnya.

Kegiatan ‘’Festival Budaya Pertanian’’ di “Jembatan Tukad Bangkung’’ yang memiliki pemandangan alam yang indah di Desa Pelaga Kecamatan Petang adalah contoh kecil penggunaan aset yang ada. Ternyata upaya ini dapat menggerakkan ekonomi pedesaan yang berbasis pertanian, dan sekaligus sebagai media edukasi, promosi, rintisan sinergi pertanian-pariwisata dan ruang dialog publik untuk bahan evaluasi pembangunan sektor pertanian khususnya.

Dari gelaran festival ini, setidaknya ada dua penghargaan Inovasi Pelayanan Publik dari Kemenpan-RB yang pernah diraih Pemkab Badung, yaitu Inovasi Festival Budaya Pertanian itu sendiri (2014) yang masuk Top 99 dan Inovasi Produk As￾paragus (2015) masuk Top 25 di Indonesia.

 

BAGIKAN