Oleh John de Santo
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 22 Desember 2005 menetapkan tanggal 20 Desember sebagai Hari Solidaritas Manusia (Human Solidarity Day). Sidang umum itu memandang solidaritas sebagai nilai utama yang perlu dikembangkan agar menjadi dasar bagi semua hubungan antarmanusia yang hidup di planet ini.
Mengapa dan bagaimana nilai solidaritas itu
dikembangkan? Sebagai negara yang berada di lingkaran ‘cincin api Pasifik’ atau Pacific Ring of Fire yang dikenal dengan nama sabuk Alpide dan menjadi
wilayah kedua dengan rangkain gunung api paling aktif di dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap becana alam. Bagi masyarakat Indonesia, bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor bukan hal baru.
Masih jelas dalam ingatan kita, duka akibat bencana gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang menelan korban jiwa 166.080 orang, dan rentetan bencana lain hingga yang terakhir gempa Cianjur Jawa
Barat pada 21 November 2022, yang menelan korban 600 orang meninggal dunia.
Bencana alam senantiasa meninggalkan tangis dan kedukaan. Namun fakta membuktikan, bencana mampu mengeluarkan sisi terbaik dari manusia. Ia menggerakkan solidaritas dan kesadaran sosial manusia secara spontan dan masif.
Tercatat sekitar 56 negara asing ikut membantu dalam bencana Aceh. Di antaranya AS, Inggris, Jerman, China, Jepang, Turki, bahkan Israel yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, akibat masalah Palestina pun, ikut menawarkan bantuan. Bencana alam tidak mengenal batas, demikian pula solidaritas dan
niat untuk saling menolong di masa krisis.
Ketika orang sedang menghadapi bahaya nyata, perbedaan politik dan permusuhan menguap dan dorongan untuk memberi bantuan dan menerima manfaat dari bantuan itu mencerminkan solidaritas dalam bentuknya yang paling murni. Label dan identitas, baik pemberi bantuan maupun penerima bantuan lebur dalam satu kata, yakni kemanusiaan.
Di masa bencana, takda lagi taktik negosiasi atau kegiatan Public Relations, melainkan melulu pendekatan yang mengandalkan kaidah emas (golden rule): saya
memperlakukan orang lain, sebagaimana saya ingin diperlakukan, bila saya berada dalam situasi serupa.
Dengan kata lain, naluri kemanusiaan kita berkata bahwa dalam kegentingan kita tak boleh saling meninggalkan: In crisis we stand together. Kita memang harus bersatu untuk secara bersama-sama melakukan sesuatu, tanpa harus selalu ada bersama.
Jadi, solidaritas itu muncul secara spontan dari semua orang yang berkehendak baik. Ia tidak hadir sebagai tuntutan hukum, melainkan sebagai pancaran dari lubuk hati setiap orang, ketika melihat sesamanya menderita. Dari paparan di atas, kita melihat solidaritas sebagai nilai tertinggi, atau par excellence, ditandai oleh kerjasama antar individu yang memungkinkan perolehan jalan keluar dalam mengatasi berbagai peroalan hidup antara lain, akibat bencana alam.
Pertanyaannya, bagaimanakah nilai solidaritas itu dikembangkan pada diri angkatan muda kita?
Mengembangkan Solidaritas
Sejumlah pakar lintas bidang mengemukakan setidaknya empat cara berikut untuk menanamkan solidaritas pada diri kaum muda. Pertama, satu kemanusiaan. Sejak kecil setiap orang harus diberi pemahaman bahwa selain memiliki ciri-ciri pembeda seperti: warna kulit, ras, etnis, agama tingkat sosial ekonomi, manusia memiliki ciri-ciri yang menyatukan seperti rasa sakit, amarah, sedih, gembira, bangga,
tersinggung, dll. Semua ciri ini justru menyatukan kita sebagai manusia.
Kedua, saling mendengarkan. Kebiasaan mendengarkan sangat perlu ditanamkan kepada generasi muda, sekaligus untuk menanamkan rasa kepedulian atau empati terhadap sesama.
Ketiga, merenung. Kebiasaan merenung mendorong orang untuk berpikir sebelum bertindak. Merenung memungkinkan orang untuk kembali kepada diri sendiri, dengan membuka hatinya dan berbagi dengan mereka yang kurang beruntung, dan memahami mereka yang berbeda dengan kita.
Keempat, berhemat. Tidak semua orang beruntung dalam hal perolehan materi. Namun berhemat adalah
kebajikan hidup yang seyogianya dimiliki semua orang, mengingat banyak orang yang masih hidup dalam kekurangan. Dengan berhermat dalam hal konsumsi barang-barang komoditas seperti sandang, pangan dan papan, setiap orang berpeluang untuk menolong sesamanya yang kurang beruntung.
Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, Berdomisili di Yogyakarta