Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Seperti sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Hindu, pelaksanaan hari suci Siwaratri dianggap sebagai ritual penebusan dosa. Tak ubahnya seperti lembaga pegadaian tempat menggadaikan barang lalu memperoleh uang, yang kemudian setelah uang dikembalikan, barang jaminan bisa ditebus kembali. Anggapan rada ‘nyaplir bin sangglir’ ini selain terkesan dipelintir juga sebagai bentuk salah tafsir terhadap kisah perjalanan sosok Lubdaka sebagai pemburu, akrab dengan pekerjaan membunuh (mamati-mati), namun justru berhasil mencapai surga.

Narasi singkat “satua” Lubdaka ini seolah melegitimasi bahwa dosa itu ternyata dapat (dengan mudah) ditebus. Padahal yang namanya “satua” bisa saja berarti ‘sat tuara ada’ (sebagai hal yang tidak ada). Cerita sukses Lubdaka ini juga telah mengobsesi sebagian umat, lalu berniat, bergiat dengan penuh semangat agar dalam waktu singkat dapat mengikuti ritual  Siwaratri. Harapannya, mengikuti jejak Lubdaka, seorang pemburu (pembunuh) binatang yang tentunya banyak dosa, namun akhirnya menikmati pahala surga, sebuah “tempat” impian umat untuk dicapai setelah kematian menjemput. Benarkah dosa bisa ditebus?

Baca juga:  Siwalatri, RSUP Sanglah Gelar Lomba Mesatua Bali

Menelisik dan menyelidik secara sistemik sumber tekstualnya, kisah Lubdaka tersaji dengan apik di dalam Kakawin Siwaratri Kalpa, gubahan  Mpu Tan Akung. Terungkap, ritual Siwaratri itu tiada lain momentum “malam penghormatan Siwa” yang sepatutnya dimaknai sebagai  “malam kesadaran” (tan mrema, tan aturu), bukan “malam penebusan dosa”. Apalagi sekadar begadang semalam suntuk yang tak jarang dilakukan di sembarang tempat dengan aktivitas yang cenderung mengarah penyaluran hasrat bahkan tergolong sesat, jauh dari hakikat Siwaratri yang mengamanatkan umat meningkatkan kesadaran sang diri — matutur ikang atma ri jatinya

 

Kesadaran diri menjadi intisari ajaran Siwaratri, bukan soal mencapai surga melalui kisah satu malam ala Lubdaka. Betapapun, setiap pencapaian akan selalu disertai perjuangan, lengkap dengan segala suka-duka-lara hingga nanti berujung pati. Dalam konteks dunia nyata (sekala), apa yang namanya ‘surga’ sejatinya lebih kepada bagaimana umat dapat mencapai dan menikmati kehidupan sejahtera (lahir) dan bahagia (batin). Bahwa ada surga di alam lain (niskala), tentu capaiannya memerlukan bekal karma baik (subhakarma) dalam frame dharma.

Baca juga:  Kebudayaan dan Politik

Bila mungkin dapat melampaui tingkatan surga, yaitu Moksa — suatu keadaan yang disebut suka tanpawali duka — kebahagiaan  sejati nan abadi. Oleh karena itu, memaknai cerita Lubdaka tidak cukup lewat “satua”, lebih penting lagi melalui “tattwa”, tiada lain sebagai sebuah pelajaran tentang pendakian spiritual dengan tujuan mencapai kesadaran Sang Atman agar kelak bersatu kembali pada Brahman (Siwa/Hyang Widhi).

Tak dapat dimungkiri, dalam praktik keberagamaan  umat di tengah  peradaban kontemporer yang semakin sekuler seperti sekarang ini, konsepsi ajaran Siwaistik melalui ritual Siwaratri sepertinya turun derajat menjadi lebih kepada penafsiran logis, praktis dan kalkulatif, yang ujungnya bermuara pada anggapan (hanya) sebagai ritual penebusan dosa. Setidaknya, apa yang dilakukan umat Hindu kebanyakan, lebih-lebih dari kalangan mudanya, mendorong mereka dengan alasan “majagra” yang sebenarnya bernakna ‘sadar/eling’ justru diartikan sebagai kesempatan tidak tidur alias begadang semalam suntuk. Itupun tak jarang juga disertai kegiatan/acara yang keluar dari konteks ritual Siwaratri.

Tanpa berpretensi prejudis, namun mengingat mereka secara biologis dan  psikologis sedang berada dalam masa krisis (panca roba), bisa saja hal-hal yang belum sepantasnya dilakukan terjadi. Akhirnya, maksud hati hendak bermalam Siwaratri, katanya dengan harapan “menebus dosa”, pada kenyataannya justru  menambah dosa.  Menginspirasi umat ke arah pemahaman dimaksud, hari suci Siwarati yang diperingati setiap prawani tilem kapitu, semestinya tidak lagi dianggap sebagai ritual malam penebusan dosa.

Baca juga:  Normalisasi Bali

Lebih penting lagi melakoni sadhana spiritual melalui kepatuhan menjalankan tribrata: menahan nafsu makan-minum (upawasa), mengendalikan perkataan (mona), dan  selalu dalam keadaan sadar/eling (jagra). Pesan moralnya, bukan pada persoalan pendosa masuk surga tetapi pada kesadaran bhakti, sebagaimana tersurat di dalam Bhagawadgita, IX.30 : “Bahkan seandainya seorang yang terjahat sekalipun yang memuja Aku dengan kesadaran bhakti yang terpusat ia harus dipandang ada di jalan yang benar sebab ia telah bertindak menuju ke arah yang benar”. Inilah sebenarnya surga sejati, bahkan dapat melampauinya: mencapai Moksa – manunggalnya Sang Atman pada Brahman.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *